ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Isu hukum mengenai kegiatan pertambangan yang semakin tidak terkendali, yang menimbulkan berbagai dampak bagi masyarakat dan kehidupan sekitar tambang, di antaranya yaitu kerusakan lingkungan, tingginya tingkat pencemaran terhadap tanah, air dan udara.
Selain itu, juga mengakibatkan gangguan bagi masyarakat luas berupa kerusakan bangunan rumah dan fasilitas umum, terutama akibat aktivitas peledakan dinamit untuk membuka lokasi tambang.
Sementara terganggunya aspek kehidupan masyarakat, jika dilihat dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM), yakni terutama yang berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tentulah sangat bersentuhan dengan dampak dari pertambangan batubara ini.
Karena hak asasi manusia meliputi aspek-aspek hak untuk hidup dan berkehidupan yang baik, aman dan sehat yang merupakan hak atas lingkungan hidup yang baik yang sehat yang diatur didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Berkenaan dengan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, H. Kasan Basari, telah dikeluarkan sejumlah peraturan. Dan beberapa kali juga telah mengalami penyempurnaan.
“Penyempurnaan ini dilakukan, tentunya dalam upaya mempertegas akan pentingnya instrumen pengelolaan lingkungan melalui perizinan. Dimana Amdal merupakan prasyarat untuk mendapatkan izin tersebut,” ujar H. Kasan Basari, kepada elJabar.com.
Apabila mencermati kembali pengaturan masalah lingkungan hidup di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang UUPPLH, maka lingkungan hidup telah menjadi faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan dan pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).
Pembangunan tidak lagi menempatkan SDA sebagai modal, tetapi sebagai satu kesatuan ekosistem yang di dalamnya berisi manusia, lingkungan alam dan/atau lingkungan buatan yang membentuk kesatuan fungsional.
“Saling terkait dan saling tergantung dalam keteraturan yang bersifat spesifik. Berbeda dari satu tipe ekosistem, ke tipe ekosistem yang lain,” katanya.
Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.
Sedangkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam UU PPLH didefinisikan sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
“Maka dalam pemanfaatan SDA harus dilakukan berdasarkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), yang terdiri atas RPPLH nasional, provinsi dan kabupaten/kota,” jelasnya.
Sehingga pemanfaatan SDA ini menurut H. Kasan Basari yang juga merupakan Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jabar, harus dilaksanakan dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.
Eksploitasi batubara berhubungan erat dengan konsep pengelolaan lingkungan hidup, dimana kegiatan usaha ini lebih rentan dengan dampak kerusakan lingkungan. Karena menurunnya kualitas lingkungan sebagai akibat pengusahaan pertambangan.
“Demikian pula kualitas hidup masyarakat, dapat menurun karena dampak yang ditimbulkannya,” tegasnya.
Seperti yang kita tahu, dampak negatif kegiatan pertambangan diantaranya, usaha pertambangan dalam waktu relatif singkat dapat mengubah bentuk topografi tanah dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya.
Selain itu, usaha pertambangan juga dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, antara lain pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah air, tailing, serta buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun.
“Dan tidak kalah mengerikan, usaha pertambangan yang dilakukan tanpa mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi lapangan dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang, dan gempa,” pungkasnya. (muis)