ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu sama lain, termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir.
Itu mensyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistik.
Memang banyak faktor persoalan yang menyebabkan tidak optimal dan berkelanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Namun, kesepakatan umum mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama adalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan yang selama ini dijalankan, masih bersifat sektoral dan terpilah-pilah.
Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tidak dilakukan secara terpadu, menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jabar, Kasan Basari, dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak bahkan punah.
“Sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan wilayah pesisir, dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur,” ujar Kasan Basari, kepada elJabar.com.
Seperti yang dijelaskan diatas, banyak faktor persoalan yang menyebabkan tidak optimal dan berkelanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Kebijakan bidang pesisir dan lautan sebagai kebijakan strategis diharapkan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat serta mampu mensejajarkan diri dengan daerah lain.
“Kebijakan tersebut didasarkan pada obyektivitas ilmiah yang dibangun berdasarkan asas partisipatif dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima manfaat terbesar,” jelasnya.
Landasan pembangunan pesisir dan lautan dalam konteks epistemologi pembangunan, termasuk arah kebijakan pembangunan sektor kelautan sebenarnya masih didominasi oleh terminologi konsep pembangunan berkelanjutan.
Penguatan pengetahuan lokal mensyaratkan redefenisi dari pembangunan sektor kelautan sebagai sebuah epistemologi baru guna menunjang otonomi daerah di wilayah pesisir dan lautan.
Pembangunan sektor kelautan yang semacam ini dimana pengetahuan lokal menjadi landasan utama mensyaratkan adanya cirri-ciri endogen dari pembangunan tersebut.
Yakni, unit sosial dari pembangunan itu haruslah suatu komunitas yang dibatasi oleh suatu ikatan budaya, dan pembangunan itu harus berakar pada nilai-nilai dan pranatanya. Kemudian juga, adanya kemandirian. Yakni setiap komunitas bergantung pada kekuatan dan sumberdayanya sendiri, bukan pada kekuatan luar.
Ciri berikutnya, adanya keadilan sosial dalam masyarakat dan adanya keseimbangan ekologis, yang menyangkut kesadaran akan potensi ekosistem lokal dan batas-batasnya pada tingkat lokal dan global.
“Dengan epistemologi semacam ini dalam konteks otonomi daerah di wilayah pesisir dan laut, maka proses konsultasi sangat mudah dilakukan, ketimbang sentralistik. Karena pemerintah negara jauh dari masyarakatnya,” jelasnya.
Pilihan otonomi merupakan suatu mekanisme yang ingin mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya. Tujuannya adalah masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara, politik, sosial, ekonomi, budaya serta penguasaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.
Otonomi daerah di wilayah laut juga akan memiliki makna pembebasan dan pemberdayaan bagi masyarakat nelayan dan petani ikan serta perlindungan lingkungan alam di laut, jika masyarakat diberikan kembali haknya dalam menguasai dan mengelolanya sumber daya sektor kelautan secara kolektif dan partisipatif.
Oleh karena itu political will pemerintah adalah bagaimana menfasilitasi proses peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan secara kolektif dan berkelanjutan.
“Maka strategi pemberdayaan masyarakat harus mempertimbangkan karakteristik masyarakat pesisir, khususnya nelayan sebagai komponen yang paling banyak. Maka sudah tentu pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif,” pungkasnya. (muis)