ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, eljabar.com – Seperti yang kita tahu, bahwa hutan konservasi yang merupakan benteng terakhir hutan di Indonesia, ternyata belum lepas dari berbagai aktivitas ilegal seperti perambahan, pembalakan liar, perburuan satwa liar dan sebagainya.
Dimana fungsi kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatannya saat ini, menghadapi ancaman yang sangat serius.
Masyarakat sekitar kawasan konservasi yang pada umumnya adalah petani tradisional dengan beberapa karakteristik. Seperti lemah dari sisi ekonomi, pengetahuan, keterampilan, serta akses yang terbatas terhadap permodalan. Begitu juga dengan lemahnya informasi dan teknologi, semakin menempatkan kawasan konservasi pada posisi yang sulit.
Masih tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan konservasi, menyebabkan masyarakat kerap kali melakukan interaksi negatif dengan kawasan konservasi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sebagian masyarakat masih ada yang menggunakan kawasan konservasi sebagai area bercocok tanam, mengambil kayu sebagai bahan bakar dan bahan bangunan, ataupun menebang kayu hanya untuk kegiatan berladang.
Memang serba dilematis kondisinya. Namun apabila aktivitas ini tidak dihentikan, menurut Anggota Komisi 2 DPRD Jawa Barat, Mirza Agam, akan semakin memperparah terhadap kondisi kerusakan kawasan konservasi.
“Namun apabila kegiatan tersebut tidak dihentikan, akan semakin memperparah kerusakan kawasan konservasi. Sehingga dibutuhkan upaya yang sangat serius dalam melakukan konservasi alam. Tentunya dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan,” jelas Mirza Agam, kepada eljabar.com.
Dengan melihat kondisi masyarakat tersebut di atas, perlu dilakukan berbagai upaya. Diantaranya dengan mengoptimalkan kembali Model Desa Konservasi (MDK), dengan grand design baru.
Konsep MDK bisa dijadikan sebagai instrumen dalam penangananan permasalahan kawasan konservasi melalui pendekatan social, tentunya dengan memperhatikan juga kondisi ekonomi masyarakat sekitar.
“Model pendekatan ini sangat penting. Karena pendekatan yang bersifat represif dirasakan belum dapat mengatasi permasalahan kawasan secara optimal,” terangnya.
Upaya pembentukan kembali MDK secara optimal, harus disertai rencana induk untuk rencana kegiatan kelompok lima tahun kedepan. Termasuk di dalamnya kegiatan usaha ekonomi produktif, dan perlunya disuport dengan bantuan modal.
“Inilah konservasi alam yang berbasis ekonomi. Perlu diperhatikan kondisi ekonomi masyarakat, khususnya yang berada disekitar kawasan konservasi,” tandasnya.
Dalam konsep ini, secara teknis sebelum bantuan diberikan perlu dilakukan monitoring dan evaluasi. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana kegiatan MDK berlangsung ditinjau dari aspek administrasi, teknis, maupun kelembagaan.
Tapi perlu diingat juga, antara upaya menjaga alam dan upaya meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, jangan sampai mengesampingkan nilai-nilai dan fungsi alam yang sesungguhnya.
“Dengan tidak bermaksud untuk mengesampingkan kondisi perekonomian masyarakat sekitar, harus diingat tujuan utama dalam pelestarian alam, sebagai tujuan dari upaya konservasi ini,” ujarnya.
Untuk lebih mengefektifkan program ini, menurut Mirza Agam, perlu melibatkan sejumlah komponen dan elemen masyarakat. Termasuk para aktivis lingkungan dan pelaku ekonomi, yang paham terhadap pembangunan dan pengembangan ekonomi masyarakat.
Melalui pendekatan ini, diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang melakukan aktivitas untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya, tanpa memperhatikan kondisi alam. Atau bahkan sengaja dengan merusak alam.
“Kebutuhan ekonomi masyarakat merupakan hal pokok dalam pembangunan. Namun alam juga harus dijaga, demi keberlangsungan kebutuhan jangaka panjang manusia itu sendiri,” pungkasnya. (muis)