Sekadar judul? Bukan! Tapi itulah awal penyebab kemelut, kericuhan, atau sebut saja pemecah tubuh organisasi wartawan tertua dan terbesar di Indonesia. Jadi, jangan menengok kemana-mana dulu. Memperluas masalah. Cukup memperhatikan fakta yang tersaji.
Sesederhana itu awal kisah cashback bermula. ”Tak ada asap kalau tak ada api”.
Ada uang yang ditarik dari kas organisasi. Lalu, katanya diterima pihak penerima dengan tanda terima. Kemudian, dibantah tidak terima oleh pihak penerima. Akhirnya, uang kembali ke kas organisasi. Faktanya bicara begitu.
Dan, apa namanya ini? Persekongkolan kah? Antar dua pihak, pemberi dan penerima, atau malah hanya di satu pihak saja?
Klarifikasi tegas hanya datang dari penerima, bahwa mereka tidak menerima uang sepeser pun. Bahkan menantang, silakan tunjuk oknum yang menerima! Sebaliknya, tak muncul klarifikasi dari pihak pemberi. Sebenarnya mudah saja. Jika benar, tinggal mengungkap siapa yang menerima.
Apalagi pihak penerima seolah menantang, sebut nama oknumnya!
Tak sepatah kata pun yang terucap. Seakan mengacuhkan beragam informasi yang beredar di publik, bahwa telah terjadi sesuatu kekeliruan dalam kerjasama dua pihak. Meski kabar yang menyebar menyudutkan pihak pemberi, bahkan lewat kalimat yang sudah menjurus pada tuduhan kriminal.
Namun tetap bisu. Tak ada bantahan, alias diam!
Pertanyaan lanjutan adalah, apakah fakta sesuai dengan kenyataan? Karena sepi penjelasan. Kali ini diam bukan berarti emas. Sebab ada tuduhan, yang butuh jawaban. Seperti apa kebenarannya?
Jangan nanti fakta dianggap sebagai kebenaran. Atau, memang faktanya sudah sesuai dengan kebenaran yang terjadi. Artinya tak butuh penjelasan tambahan.
Yang muncul berbagai penjelasan, yang intinya tidak membantah kebenaran adanya niat cashback. Sembunyi dibalik penjelasan hasil akuntan publik yang menyebut tidak ada penyalahgunaan keuangan organisasi. Meski dengan memasukan disclaimer, catatan akuntan itu pasti benar. Hanya tidak ada kaitan dengan cashback.
Demi cashback, akhirnya jabatan dipertahankan mati-matian. Lahirlah beragam SK. Mengaduk aturan main organisasi lewat kacamata kepentingan sendiri. Untuk menyelamatkan aksi cashback, antara lain mengembalikan uang ke kas. Meluaskan permasalahan dengan menyentuh ranah hukum. Langkah yang memunculkan efek bumerang. Muncul laporan balik ke aparat penegak hukum.
Perseteruan internal kian berkembang. Sebagian besar anggota tidak nyaman dengan adanya ”kongkalingkong” soal uang. Malu! Pihak ketiga mengusulkan solusi rekonsiliasi, tapi bagi mereka yang kadung malu, rekonsiliasi bukan perkara mudah.
Ungkap dulu kenyataannya, apakah kekeliruan, terpeleset, atau memang niat jahat? Ini agar semua bisa bersalaman dengan hati dan tangan yang bersih.
Cashback bukan haram. Katanya, sejak pengurus ke pengurus organisasi ini, istilah itu dikenal. Sering diberikan sebagai tanda terimakasih. Saling tau sama tau. Lalu, kenapa kali ini diributkan? Pasti ada sesuatu yang secara kasat mata dinilai tidak wajar. Entah jumlah, atau calon penerima yang tentunya bukan orang sembarangan.
Mungkin juga karena tidak sesuai prosedur. Sebuah pengakuan jujur, sekali lagi, ini yang dibutuhkan. Klarifikasi. Apalagi masalahnya sudah menjadi konsumsi publik. Malu-maluin profesi!
Masalah berlarut dan menyebar ke segala arah. Tanpa urat malu. Bahkan tanpa batasan kode etik. Menyerang personal tanpa peduli etis. Juga tak menggubris bahwa kasus nantinya berefek pada rendahnya kepercayaan publik terhadap organisasi ini.
Di sisi lain, niat awal bersatu di bawah bendera organisasi ini, antara lain demi menjaga integritas dan profesionalisme. Semua bisa terhapus, tersisih oleh gema kasus cashback.
Saatnya menyudahi debat organisatoris dengan argumen dari kacamata sendiri. Tak ada habisnya. Angkat ke area lebih tinggi. Etika! Etika tidak bicara tentang benar dan salah. Etika bicara tentang apa yang baik dan buruk, mengenai hak dan kewajiban moral.
Etika berhubungan dengan nilai benar yang dianut masyarakat. Pada gilirannya, etika adalah bicara kejujuran. Nurani! Dan, jujur adalah kesesuaian antara kondisi lahir dan batin. Ucapan dan perbuatan. Antara berita dan fakta.
Persoalannya, apakah masih berani jujur?
Penulis adalah Mirza Zulhadi, Anggota Biasa PWI sejak 1989 – sekarang