ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Seperti yang kita tahu, ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam konteks pembangunan negara.
Sejumlah pakar mengungkapkan bahwa ketahanan pangan memiliki fungsi ganda, yakni sebagai sasaran utama pembangunan dan sebagai instrumen utama pembangunan ekonomi.
Kita juga tahu, bahwa ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi, meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi. Mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Dan secara ringkas masih menurut para pakar, bahwa ketahanan pangan sebenarnya hanya menyangkut tiga hal penting. Yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan.
Dijelaskan dalam UU No.18/2012 bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun mutunya.
Dan juga aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Namun pada kondisi saat ini menurut Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat, Heri Ukasah, harus diakui bahwa ketahanan pangan belum menyentuh masyarakat secara keseluruhan, meskipun ketahanan pangan secara nasional cukup terpenuhi.
Dari sejumlah kebijakan dan regulasi yang ada, tidak sesuai dengan implementasi dilapangan. Sehingga hal ini menurut Heri Ukasah, terjadi ketimpangan dan rawan pangan masih terjadi di tengah-tengah masyarakat, di daerah tertentu.
“Harus jujur untuk mengakuinya, persoalan ketahanan pangan masih menerpa masyarakat kita. Tentunya ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah,” tandas Heri Ukasah, kepada elJabar.com.
Memang disadari bahwa untuk mencapai pembangunan ketahanan pangan, tidaklah mudah. Namun dengan tekad dan kerjasama semua sektor, pusat dan daerah, tujuan dan sasaran pembangunan ketahanan pangan nasional sampai masyarakat perorangan.
Sejumlah persoalan seputar krisis pangan yang terjadi pada tahun-tahun belakangan, menggambarkan telah terjadinya penurunan produktivitas hasil pertanian. Selain dikarenakan tidak meratanya distribusi bahan pangan, juga akibat penimbunan bahan pangan oleh swasta.
Maka dari itu, pemerintah dituntut ekstra keras menangani persoalan ini. Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk lebih memperhatikan pembaruan agrarian.
“Yang menjamin akses dan kontrol petani atas sumber daya agraria, serta didukung industri dan perdagangan yang mendukung pertanian,” ujarnya.
Persoalan pangan ini menguat sejak dilakukannya penyeragaman bahan makanan pokok masyarakat. Masyarakat yang secara adat dan turun temurun, sesungguhnya sudah memiliki makanan pokoknya seperti jagung, sagu, gaplek dan lain sebagainya. Namun diarahkan untuk mengkonsumsi beras sebagai sumber bahan pangan pokok.
Pada saat ini negara yang kuat adalah negara yang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Sehingga arti bahan makanan pokok bagi Indonesia sebagai negara agraris, sangatlah penting.
Dalam sistem budidaya tanaman pembangunan pertanian, tentunya melibatkan pihak pemerintah, badan usaha dan petani. Oleh karena itu dalam pembuatan aturan, juga harus berpihak dan menguntungkan petani.
“Jadi sangat tidak mungkin petani bersaing dengan badan usaha. Petani harus mendapat bantuan. Baik pendampingan, maupun pembinaan peningkatan hasil produksi,” ujarnya.
Sehingga idealnya menurut Heri Ukasah, pertanian dan sarana produksi pertanian harus dapat meningkatkan produktivitas petani, yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
“Dalam hal ini, petani diberi peran dalam pengelolaan lahan sebesar-besarnya, serta didukung oleh teknologi dan permodalan. Sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal. Ini harus berorientasi untuk peningkatan kesejahteraan petani,” tegasnya.
Sementara itu peran strategis dari OPD terkait, harus menjadi badan strategis dalam menjamin hak atas pangan. Menjadi basis untuk membentuk SDM berkualitas dan menjadi pilar Ketahanan Nasional, yang dapat menyentuh dan dinikmati oleh masyarakat secara menyeluruh. (muis)