Kronik

AKAL SEHAT DALAM DUNIA GILA: MENGAPA NATO HARUS BERCERMIN

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

DALAM sejarah panjang diplomasi dan kekuasaan, ada satu hal yang kerap dikorbankan di altar propaganda dan kepentingan: akal sehat. Dunia kini menyaksikan sebuah perang yang telah menelan ratusan ribu nyawa dan menghancurkan infrastruktur sebuah negara. Tetapi, narasi dominan yang dikibarkan dari Barat terlalu sederhana: Rusia adalah agresor, Ukraina adalah korban, dan NATO adalah pembela kebebasan. Namun bagi siapa pun yang masih mempertahankan keberanian berpikir jernih, narasi itu tidak utuh, bahkan menyesatkan. Rusia bukanlah musuh dunia. Justru dalam banyak hal, NATO lah yang perlu bercermin.

 

Hak Rusia yang Diteriakkan sebagai Ancaman

Related Articles

Mau tidak mau, politik kekuasaan dunia mentoleransi bahwa negara besar memiliki “zona pengaruh”. Amerika Serikat menegaskan itu dalam Doktrin Monroe — bahwa benua Amerika adalah wilayah pengaruhnya dan tidak boleh diintervensi oleh kekuatan eksternal. Ketika Uni Soviet mencoba menempatkan rudal di Kuba, AS mengancam perang nuklir dan memblokade negara itu. Dunia menyebutnya krisis, tapi tidak ada yang menyebut AS sebagai agresor.

Kini mari kita balik cermin itu ke Rusia. Setelah runtuhnya Uni Soviet, negara-negara yang dulunya berada dalam lingkup pengaruh Moskow, satu per satu masuk ke NATO. Polandia, Rumania, hingga negara-negara Baltik, semua kini berbendera aliansi yang secara historis dibentuk untuk menghadapi Rusia. Bahkan dua negara yang paling sensitif secara strategis — Ukraina dan Georgia — didorong untuk “berorientasi Barat”. Dalam bahasa diplomasi, itu disebut hak kedaulatan. Dalam bahasa geopolitik, itu provokasi.

Rusia tidak pernah menuntut seluruh dunia netral. Yang diminta adalah netralitas dari negara-negara yang secara geografis menjadi penyangga langsung pertahanannya. Itu berimplikasi sejumlah kecil negara saja. Tidak usah membesar-besarkan seakan Rusia ingin menghancurkan kedaulatan bangsa2 sedunia. Lihat, Rusia tidak meminta Ukraina menjadi sekutu militer. Tidak juga menolak jika Ukraina menjadi anggota Uni Eropa. Yang diminta adalah satu hal sederhana namun sangat penting: Jangan jadikan Ukraina landasan peluncuran NATO ke jantung wilayah Rusia.

Apakah itu permintaan tidak wajar?

 

NATO: Penjaga Perdamaian atau Provokator Sistemik?

Mari jujur. Jika NATO benar-benar adalah aliansi defensif, mengapa ia terus berkembang ke Timur bahkan setelah ancaman Uni Soviet tiada? Mengapa NATO tetap hidup sementara musuh asalnya — Pakta Warsawa — bubar? Jawabannya bukan karena idealisme kebebasan, tapi karena kepentingan geopolitik: memperluas pengaruh Barat ke wilayah-wilayah yang dulu dikuasai Rusia.

Kebijakan ekspansi ini bukan tanpa peringatan. Bahkan diplomat senior Amerika, George Kennan — arsitek kebijakan containment terhadap Soviet — menyebut ekspansi NATO ke timur sebagai “kesalahan strategis terbesar sejak Perang Dingin”. Tapi NATO tetap melaju, karena yang diutamakan bukan stabilitas global, melainkan dominasi regional.

Dan saat Rusia akhirnya berkata “cukup”, dunia menyebutnya agresor. Dunia melupakan bahwa Ukraina bukan saja diajak bergabung dengan NATO, tapi telah menjadi titik tumpu proksi dari persaingan geopolitik Barat-Timur. Di tahun 2014, pemerintahan Ukraina yang sah terguling lewat Revolusi Maidan yang didukung negara-negara Barat. Rusia menyaksikan satu demi satu sekutu historisnya tergantikan oleh rezim pro-Barat, dan ketika Krimea — basis armada Laut Hitam Rusia — tampak akan jatuh ke NATO, Moskow mengambil langkah militer.

 

Kedaulatan: Hak Siapa yang Diutamakan?

Pertanyaan mendasar dalam krisis ini adalah: kedaulatan siapa yang pantas dibela? Barat selalu menjawab: kedaulatan Ukraina. Tapi bagaimana dengan kedaulatan Rusia untuk merasa aman di wilayahnya sendiri? Dalam doktrin hukum internasional, kedaulatan memang tidak bisa digunakan untuk mengancam negara lain. Tapi NATO justru menerapkan logika sebaliknya: hak kedaulatan Ukraina digunakan untuk membenarkan posisi senjata, sistem radar, dan pelatihan militer asing di dekat perbatasan Rusia.

Itu bukan “kedaulatan”, itu “soft encirclement”.

Dan ironisnya, ketika Rusia akhirnya mengambil langkah militer, NATO justru menjadikan perang ini sebagai panggung moral palsu: mengklaim membela demokrasi sambil menghindari pengorbanan nyata. Ukraina dikirimi senjata, pelatihan, dan dukungan simbolik. Tapi NATO menolak mengirim tentaranya sendiri, karena tahu taruhannya: perang dunia. Barat siap mendukung Ukraina… selama tidak perlu membayar dengan nyawa sendiri.

 

Siapa yang Sebenarnya Menghasut Perang?

Rusia telah menyerang negara berdaulat Ukraina. Menurut narasi NATO Rusia telah melanggar tertib dunia berbasis aturan (rules based order). Disitulah masalahnya mengapa banyak negara di dunia menolak menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Karena mereka tahu sejarah. Mereka tahu siapa yang membom Baghdad tanpa mandat PBB. Mereka tahu siapa yang menggulingkan pemerintahan di Libya dan menjadikan negara itu tanah tak bertuan. Mereka tahu siapa yang menghancurkan Yugoslavia atas nama “hak asasi manusia” sambil menghancurkan jembatan, rumah sakit, dan generasi muda Serbia.

Apakah Irak, Libya, atau Suriah mengancam Eropa? Tidak. Tapi NATO tetap menyerang.

Dan ketika Rusia — negara dengan nuklir, sejarah panjang invasi asing, dan peran krusial dalam kekalahan Nazi — akhirnya mengatakan “tidak”, maka seluruh propaganda Barat menyerukan: inilah musuh dunia.

Bukan. Rusia bukan musuh dunia. Rusia adalah negara besar yang terjepit oleh arus politik ekspansif dan dua dekade penipuan diplomatik. Jika dunia ingin damai, bukan Rusia yang perlu diisolasi. NATO lah yang perlu bercermin.

 

Dunia Multipolar: Menolak Hegemoni, Membangun Keseimbangan

Kita tidak sedang hidup di dunia tahun 1990-an, saat AS menjadi satu-satunya superpower dan bisa menentukan siapa baik dan siapa jahat. Kini dunia telah berubah. Cina, India, Turki, Brasil, Afrika Selatan, bahkan Indonesia, semua semakin menyadari bahwa dunia unipolar tidak adil.

Dalam dunia multipolar, hak setiap negara harus diakui — termasuk hak Rusia atas rasa aman, dan hak Ukraina atas kelangsungan hidupnya. Tapi kelangsungan hidup bukan berarti menjadi pion dalam konflik besar. Kedaulatan bukan berarti bebas memprovokasi tetangga. Dan perdamaian tidak akan tercapai selama NATO terus memperluas bayangannya ke jantung benua Eurasia.

Jika NATO tidak mampu mengerti ini, maka bukan Rusia yang membawa dunia ke jurang kehancuran. NATO lah yang menarik seluruh Eropa menuju perang yang tak bisa dimenangkan — kecuali oleh industri senjata dan para penghasut perang.

Akal sehat berkata: “Kedaulatan tidak absolut. Rasa aman tidak boleh sepihak. Kompromi bukan kelemahan. Dan jika dunia ingin selamat, maka waktunya untuk berhenti mendengarkan propaganda dan mulai mendengarkan akal sehat. ***

 

Show More
Back to top button