Adikarya ParlemenParlemen

Pinjaman Daerah: Perlu Hati-hati demi Keberlanjutan Fiskal

ADHIKARYA PARLEMEN

BANDUNG, elJabar.com – Pinjaman daerah seharusnya dipandang sebagai salah satu instrumen pembiayaan jangka menengah-panjang yang hanya layak digunakan untuk proyek investasi produktif yang mampu menghasilkan arus kas atau manfaat ekonomi sosial jelas bagi masyarakat

Untuk kedepannya, Sekretaris Komisi 3 DPRD Jawa Barat, H. Heri Ukasah, menegaskan pentingnya selektivitas dalam kebijakan pinjaman daerah untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mencegah pembengkakan utang yang tidak produktif.

“Pinjaman itu bukan solusi untuk menutup defisit operasional tiap tahun. Kalau digunakan untuk belanja rutin, kita justru menjerumuskan anggaran daerah ke dalam beban utang yang membatasi ruang fiskal di masa depan,” ujar Heri Ukasah, kepada elJabar.com.

Kerangka hukum yang melandasi pengelolaan pinjaman daerah menekankan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas. Di tingkat pusat, kementerian terkait telah menerbitkan pedoman batasan kumulatif pinjaman serta mekanisme pelaporan dan pertimbangan pinjaman daerah agar tidak menimbulkan risiko fiskal sistemik.

Aturan seperti Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur batas maksimal kumulatif pinjaman dan Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait pedoman penyusunan APBD menjadi acuan wajib bagi pemerintah daerah sebelum mengambil pinjaman.

Heri Ukasah menjelaskan bahwa selektivitas harus diterjemahkan dalam tiga tahap kebijakan: (1) seleksi proyek yang jelas layak finansial dan sosial; (2) pemilihan sumber pembiayaan yang sesuai (misalnya fasilitas pembiayaan multilateral, pembiayaan investasi dari bank daerah, atau pinjaman antar pemerintah daerah) dengan tenor dan biaya yang proporsional; dan (3) mekanisme pengendalian pasca-pinjaman yang memastikan proyek menghasilkan manfaat sesuai rencana.

“Kita harus melihat rasio kemampuan bayar, proyeksi pendapatan daerah, serta dampak fiskal jangka panjang sebelum memberi rekomendasi ke eksekutif,” tambahnya.

Di Jawa Barat, tantangan selektivitas bukan hanya soal kepatuhan administratif: faktor kapasitas perencanaan di tingkat kabupaten/kota, kebutuhan mendesak infrastruktur, serta tekanan politik lokal turut memengaruhi keputusan mengambil pinjaman.

Heri mengakui, ada permintaan pinjaman yang berasal dari kebutuhan pembangunan infrastruktur dasar—seperti jalan penghubung, irigasi, dan sarana sanitasi—yang bila dikelola dengan baik dapat meningkatkan daya dukung ekonomi dan pelayanan publik. Namun, Komisi 3 tetap menekankan prioritas pada proyek dengan studi kelayakan komprehensif serta skema pembiayaan yang tidak menimbulkan beban bunga berlebih.

Pengalaman beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa pinjaman yang tidak melalui seleksi ketat cenderung berisiko menimbulkan utang tak produktif. Oleh karena itu, Heri mendorong penguatan kapasitas unit perencanaan dan keuangan daerah (Bappeda dan BPKAD) untuk menyusun analisis cost-benefit, proyeksi arus kas, serta skenario risiko.

Selain itu, ia meminta transparansi publik: masyarakat dan dewan harus mendapat akses terhadap dokumen Rencana Bisnis Proyek dan analisis fiskal agar pengawasan publik dan legislatif dapat berjalan efektif.

“Tanpa keterbukaan, kita sulit menilai apakah pinjaman itu benar-benar untuk kepentingan rakyat atau sekadar solusi jangka pendek,” tegas Heri.

Untuk memperkuat selektivitas, Heri Ukasah menyampaikan sejumlah catatan rekomendasi yang lebih rinci sebelum persetujuan pinjaman. Mekanisme ini mencakup penilaian independen atas studi kelayakan, review alternatif pembiayaan non-utang (misalnya kerjasama publik-swasta), serta ketentuan tindak lanjut jika proyek gagal mencapai target.

Heri menekankan bahwa fungsi legislatif bukan menolak pinjaman secara populis, melainkan memastikan setiap pinjaman adalah investasi yang dapat diperhitungkan secara ekonomi dan memberi manfaat nyata bagi warga Jawa Barat.

Langkah tersebut relevan, mengingat tekanan kebutuhan investasi infrastruktur daerah yang tinggi bersamaan dengan keterbatasan pendapatan asli daerah (PAD).

“Kapabilitas perencanaan dan pengendalian pengelolaan pinjaman daerah menjadi faktor penentu, apakah pinjaman akan mendukung pertumbuhan daerah atau sebaliknya membatasi ruang fiskal di masa depan. Ini yang harus dipahami,” pungkasnya. (muis)

Show More
Back to top button