Adikarya ParlemenParlemen

Untuk Menjaga Keseimbangan Pembangunan, Tata Ruang Jawa Barat Perlu di Evaluasi Secara Mendasar

ADHIKARYA PARLEMEN

BANDUNG, elJabar.com — Menyusul pesatnya pertumbuhan penduduk, ekspansi kawasan industri, dan ancaman bencana alam yang semakin sering terjadi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah dihadapkan pada tantangan besar dalam pengelolaan tata ruang yang semakin kompleks.

Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, Prasetyawati, M.M. menegaskan pentingnya peninjauan ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Barat agar lebih responsif terhadap dinamika pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup.

Tata ruang bukan sekadar dokumen teknis, melainkan fondasi arah pembangunan berkelanjutan. Ia menyoroti sejumlah persoalan krusial seperti alih fungsi lahan pertanian, ketimpangan antarwilayah, dan kerusakan kawasan lindung yang kini semakin memperparah ketidakseimbangan ekologis di Jawa Barat.

“Jangan sampai pembangunan hari ini justru menjadi bencana bagi generasi mendatang. Tata ruang kita harus berpihak pada keberlanjutan. Penataan ruang harus mengedepankan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi secara proporsional,” tegas Prasetyawati, kepada elJabar.com.

Jawa Barat dikenal sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, mencapai lebih dari 50 juta jiwa. Konsentrasi penduduk terkonsentrasi di wilayah selatan dan tengah, seperti Bandung Raya dan Bodebek (Bogor-Depok-Bekasi). Namun, pertumbuhan perkotaan yang sangat cepat justru belum diimbangi dengan perencanaan tata ruang yang matang.

Menurut Prasetyawati, terjadi ketimpangan pembangunan yang mencolok antara wilayah utara dan selatan Jawa Barat. Wilayah utara cenderung mengalami tekanan pembangunan industri dan infrastruktur, sementara wilayah selatan yang memiliki kekayaan alam dan kawasan lindung, seperti pegunungan dan hutan konservasi, justru rawan eksploitasi liar.

“Kita harus mengarahkan pembangunan ke wilayah yang selama ini tertinggal. Selatan Jawa Barat punya potensi luar biasa di bidang ekowisata, pertanian organik, dan kehutanan lestari. Namun itu semua butuh desain tata ruang yang berkeadilan dan berpihak pada masyarakat lokal,” jelasnya.

Salah satu dampak buruk dari lemahnya penataan ruang adalah masifnya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman atau industri. Data Dinas Pertanian menunjukkan bahwa setiap tahun Jawa Barat kehilangan lebih dari 7.000 hektar lahan sawah produktif, terutama di wilayah Karawang, Subang, dan Bekasi—yang dikenal sebagai lumbung padi nasional.

Prasetyawati menegaskan bahwa DPRD Jawa Barat telah mendorong penguatan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), namun implementasinya di lapangan masih lemah. Ia menyayangkan masih banyaknya proyek pembangunan yang mengabaikan zonasi tata ruang.

“Tanpa perlindungan tegas terhadap lahan pangan, kita bisa menghadapi krisis ketahanan pangan di masa depan. Ini bukan soal teknis, tapi soal visi jangka panjang. Jangan sampai demi mengejar investasi, kita mengorbankan kedaulatan pangan rakyat,” tegasnya.

Jawa Barat juga merupakan daerah dengan tingkat risiko bencana tertinggi di Indonesia. Letak geografis yang dikelilingi gunung api aktif, curah hujan tinggi, dan tanah yang labil membuat provinsi ini rentan terhadap longsor, banjir, dan gempa. Namun ironisnya, banyak pembangunan dilakukan di zona merah rawan bencana.

Prasetyawati menyoroti lemahnya sinergi antara kebijakan tata ruang dengan peta rawan bencana. Ia meminta agar revisi RTRW Provinsi ke depan wajib memasukkan dokumen Kajian Risiko Bencana sebagai acuan utama. Bahkan, ia mengusulkan adanya moratorium sementara terhadap proyek-proyek di zona rawan sampai ada evaluasi mendalam.

“Kalau kita tahu daerah itu rawan longsor, kenapa masih dibangun jalan atau perumahan di sana? Ini soal nyawa manusia. Jangan tunggu ada korban baru kita bergerak,” ujarnya.

Permasalahan klasik dalam penataan ruang juga berkaitan dengan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tak jarang, RTRW provinsi tidak sejalan dengan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) kabupaten/kota, yang menyebabkan konflik perizinan dan ketidakefisienan pembangunan.

Komisi 4 DPRD Jabar, menurut Prasetyawati, terus mendorong sinergi antarlembaga melalui penyusunan Perda Tata Ruang yang adaptif dan integratif. Ia juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat sejak awal proses perencanaan, bukan hanya sebagai formalitas.

“Masyarakat itu bukan obyek, mereka harus jadi subyek dalam tata ruang. Mereka yang paling tahu kondisi daerahnya, dan mereka juga yang paling terdampak. Jadi partisipasi itu kunci keberhasilan,” katanya.

Prasetyawati menegaskan bahwa masa depan Jawa Barat sangat ditentukan oleh bagaimana tata ruang disusun dan dijalankan hari ini. Tanpa komitmen kuat dari seluruh pihak, bukan tidak mungkin provinsi ini akan terjebak dalam pusaran krisis ekologis dan sosial yang kian tak terkendali.

“Tata ruang itu bukan dokumen mati. Ia harus hidup dan tumbuh bersama rakyat, alam, dan zaman. Mari kita jadikan ini bukan hanya kerja teknokrat, tapi kerja kolektif seluruh warga Jawa Barat,” pungkasnya. (muis)

Show More
Back to top button