BANDUNG, eljabar.com — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung berkomitmen memberikan perlindungan kepada tenaga kerja lokal. Hal itu dinilai penting, karena banyak tenaga kerja luar memasuki wilayah Kota Bandung.
Realita tersebut seiring geliat inovasi yang digulirkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan berdampak kepada meningkatnya investasi. Di samping itu, dibukanya keran perdagangan bebas melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah mendorong pula masuknya tenaga asing.
“Komitmen kami itu, ke depan akan diwujudkan dengan mengatur keberadaan pekerja lokal dalam Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan. Raperdanya saat ini masih dibahas DPRD Kota Bandung,” ungkap Ketua Pansus 10 Agus Gunawan, di Gedung DPRD Kota Bandung, belum lama ini.
Dalam referensi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, tercatat ketertampungan jumlah tenaga kerja lokal belum memenuhi ketentuan aturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait hal itu, dewan menilai perlu adanya aturan yang memayungi keberadaan ketenagakerjaan di Kota Bandung. Langkah itu penting agar hak-hak dan perlindungan dasar pekerja lokal terjaga. Pada saat yang bersamaan, iklim kondusif bagi pengembangan investasi dan dunia usaha juga berjalan.
“Jangan sampai tenaga kerja lokal terpinggirkan,” tukas politisi Partai Demokrat ini.
Di dalam postur raperda ketenagakerjaan, kata Agus yang juga Sekretaris Komisi D DPRD Kota Bandung ini, perlindungan ketenagakerjaan memiliki banyak dimensi dan keterkaitan. Hal itu tidak hanya menyangkut kepentingan tenaga kerja, tapi juga pengusaha, pemerintah daerah, dan masyarakat. Oleh karena itu, pengaturannya harus menyeluruh dan mencakup pengembangan sumber daya manusia (SDM), peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja, upaya perluasan kesempatan kerja, hingga pelayanan penempatan tenaga kerja.
“Pembinaan hubungan industrial dalam sebuah perda juga penting. Ini akan kita akomodasi,” seru Agus.
Menyoal tentang perlindungan tenaga kerja lokal, Agus menilai, Perda itu nantinya harus lebih cermat. Jangan sampai aturan itu malah melanggar hak asasi manusia. Dirinya memandang, objek perda harus lebih jelas sehingga tidak multi tafsir.
Mencermati masih banyaknya persoalan tenaga kerja, pengambil alihan kewenangan pengawasan oleh provinsi bukan tidak mungkin timbulkan persoalan baru. Sebab, hingga saat ini masih belum jelas tekhnis pelaksananya, sehingga perlu kiranya pansus mempertanyakan bidang pengawasan terhadap tenaga kerja.
“Sebelum wewenang diambil alih Provinsi, bidang pengawas tenaga kerja diposisikan sebagai jabatan fungsional yang bekerja memonitor tenaga kerja. Tapi sekarang belum ada kejelasan. Apakah akan berbentuk UPT pengawas atau tidak. Pansus belum menyentuh persoalan itu,” kata Agus.
Agus mengatakan, harusnya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat menetapkan teknis pengawasan tenaga kerja di daerah sehingga setelah ditarik wewenangnya pengawasan bisa langsung berjalan.
“Di masa transisi ini bisa dikatakan tidak ada pengawasan, sedangkan banyak permasalahan tenaga kerja. Sampai kapan kondisi ini berlangsung tanpa ada kejelasan? Kita tidak tahu,” tandas Agus.
Apalagi bidang pengawasan sangatlah penting karena terindikasi banyak hak-hak normatif tenaga kerja terabaikan oleh pengusaha atau perusahaan dimana kewenangan ini adanya di pengawasan.
“Kita akan meminta Pemerintah Kota Bandung segera melakukan koordinasi ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait pelaksanaan tekhnis pengawasan tenaga kerja. Ini penting agar pengusaha punya aturan dalam menunaikan kewajibannya terhadap tenaga kerja. Kalau tidak ada kejelasan fungsi pengawasan, bukan tidak mungkin hak-hak normatif tenaga kerja tidak akan terpenuhi dan akan timbulkan permasalahan baru,” pungkas Agus. (adv)