Nasional

Kesejahteraan Pramuwisata Berlisensi di Yogyakarta Minim Perlindungan

Yogyakarta, eljabar.com – Rendahnya perlindungan kesejahteraan dan perlindungan upah pemandu wisata masih menjadi persoalan yang hingga kini belum terpecahkan. Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih dinilai belum menunjukkan political will yang kuat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari keengganan Pemprov DIY untuk memfasilitasi nota kesepahaman yang mengatur standarisasi besaran fee pemandu wisata. Tak pelak, profesi pemandu wisata yang kebanyakan bekerja secara mandiri kerap dirugikan. Selain tanpa dibekali ikatan perjanjian kerja, nilai tawar profesi pemandu wisata yang bekerja mandiri itu sering dipandang sebelah mata oleh pengguna jasa.
Menyoal rendahnya perlindungan profesi pramuwisata tersebut, sejumlah kalangan mendesak agar Disbudpar DIY memfasilitasi pembuatan nota kesepahaman (MOU) antara induk organisasi pramuwisata dengan stake holder pariwisata lainnya.
Menurut pemerhati dari Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen dan Tenaga Kerja (Lapak) Manggala, Jimmy Patriciana, MOU tersebut akan menempatkan pramuwisata mempunyai tolak ukur besaran jasa yang lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Alasannya, sambung Jimmy, pramuwisata yang telah memiiliki lisensi dan sertifikasi kompetensi adalah potensi sumber daya manusia yang patut diapresiasi dan dikembangkan.
“Undang-undang mengamatkan profesi pramuwisata mempunyai tanggungjawab yang berat dan salah satunya behubungan dengan keamanan negara. Memperihatinkan jika tanggungjawab yang berat ini belum dihargai dengan layak. Perlindungan kesejahteraan dan perlindungan upahnya belum optimal. Tapi jangan ditafsirkan menjaga keamanan negara itu seperti yang dilakukan tentara,” katanya.
Selama ini, menurut Jimmy, perhatian pemerintah dan stake holder kepariwisataan terhadap pramuwisata yang bekerja secara mandiri sangat rendah. Hal itu dapat dilihat dari besaran nilai guide order agen perjalanan pariwisata yang dibuat secara sepihak. Seharusnya, kata Jimmy, sebelum menentukan besaran nilai guide order dibuatkan dulu perjanjian kerja yang mengikat. Hal ini dimaksudkan agar perjanjian kerja tersebut memberikan perlindungan kepada masing-masing pihak dan bagi pramuwisata mandiri memiliki peluang untuk melindungi dirinya dan keluarganya melalui sistem jaminan sosial nasional (SJSN).
“Jika pemerintah tidak memfasilitasi standarisasi fee melalui kerjasama antara induk organisasi pramuwisata dan asosiasi perjalanan wisata maka cara-cara yang berpotensi menghilangkan pendapatan yang disebabkan pembatalan order akan selalu dialami pramuwisata yang bekerja secara mandiri. Pemangku kebijakan harus peka terhadap persoalan seperti ini dan jangan dilihat hanya sebagai sebuah resiko profesi,” ujar Jimmy.
Selama ini profesi pramuwisata terkesan kurang mendapat tempat yang setara dengan perusahaan perjalanan wisata. Dari sejumlah fakta kejadian, eljabar menemukan sejumlah keputusan pembatalan guide order secara sepihak seringkali dibuat perusahaan perjalanan wisata. Sementara pemerintah sendiri terlihat mengabaikan permasalahan yang akan membuat gap antara pelaku industri pariwisata lebih dalam. Hal ini dikemukakan penggiat lembaga swadaya masyarakat HDIS, Andik Winarto.
“Kasus pembatalan sepihak hanyalah contoh kecil kejadian karena kurangnya perlindungan profesi pramuwisata. Mau tidak Disbudpar membuat formula kebijakannya,” tutur Andik.
Masih kata Andik, keberpihakan pemerintah untuk meningkatkan perlindungan kesejahteraan dan perlindungan upah pramuwisata yang bekerja secara mandiri juga masih rendah. Seharusnya pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan kesejahteraan pramuwisata mandiri. Paling tidak, hal itu akan terlihat ketika para pramuwisata di Yogyakarta dapat memiliki jaminan sosial (social security).
“Padahal peran pemerintah sangat besar dalam mewujudkan perlindungan kesejahteraan untuk pramuwisata. Perlindungan kesejahteraan ini akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia pramuwisata yang menjadi salahsatu pelaku industri pariwisata,” ujar Andik.
Pramuwisata yang menjadi ujung tombak dalam industri pariwisata seharusnya mendapat perhatian. Melalui pengawasan dinas terkait, kasus “kesewenang-wenangan” yang sering menimpa profesi pramuwisata yang memiliki lisensi dan sertifikasi kompetensi seharusnya bisa ditekan.
Jika perlu, perusahaan yang kerap melakukan praktik kesewenag-wenangan itu ditelisik lebih jauh. Karena praktik kesewenang-wenangan yang dilakukan adalah indikator ketidakpatuhan dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan baik dan benar. Apalagi komitmen “guide order”. (iw/an)

Show More
Back to top button