ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Padatnya penduduk wilayah Jawa Barat, tentu saja masih dibarengi dengan terjadinya kesenjangan antara rumah terbangun dengan rumah yang dibutuhkan masyarakat (backlog perumahan) sebanyak 2,8 juta unit pada 2023 dan 2024.
Apabila menengok tahun kebelakang, angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni 2022, di mana backlog perumahan adalah sebanyak 2,2 juta. Peningkatan itu mungkin karena ada pertambahan jumlah KK dan juga ada ketentuan dari Bappenas bahwa yang terhitung rumah adalah yang layak huni.
Dengan kebutuhan tersebut, menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, Prasetyawati, Jawa Barat cukup terbantu dengan berbagai proyek perumahan, terutama yang menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Pemprov Jabar harus lebih intensif lagi berkoordinasi dengan pusat dalam upaya pengadaan hunian, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
“Kita mendorong Pemprov, dan tentunya kita juga sangat menyambut baik apa yang dilakukan Perumnas dalam pembangunan rumah hunian yang ada di Jawa Barat,” ujar Prasetyawati, kepada elJabar.com.
Namun demikian, Prasetyawati juga mengingatkan beberapa hal yang harus diperhatikan, mulai dari pengelolaan sampah, pengelolaan limbah, hingga legalitas lahan. Sehingga kondisi lingkungan sekitar hunian tetap terjaga dari persoalan-persoalan lingkungan tadi.
“Untuk pengelolaan sampah dari kawasan hunian yang dibangun, harus dikelola dengan baik dan selesai di sana. Mengingat potensi sampah yang ada sangat tinggi,” ingatnya.
Kemudian permasalahan yang juga harus diperhatikan, kata Prasetyawati, adalah masalah tata ruang dan legalitas lahan, serta dampak pembangunan skala besar yang biasanya berdampak pada masyarakat sekitarnya.
“Kami yakin tidak akan ada masalah, karena pihak pengembang dan pemerintah terkait bisa koordinasi dengan baik. Kalaupun ada, saya harap itu bisa diselesaikan. Dan tentu yang dijanjikan harus terealisasi,” tuturnya.
Terkait dengan skema pembiayaan subsidi fasilitas likuiditas pembayaran perumahan (FLPP), sekurang-kurangnya 50 persen unit dari perumahan yang dibangun harus diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sehingga pembangunan hunian ini benar-benar dapat membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah, untuk bisa memiliki tempat tinggal yang layak huni secara permanen dan milik sendiri.
“Harga harus terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Namun juga hunian ini harus layak huni, jangan asal-asalan, sehingga masyarakat merasa nyaman untuk tinggal,” katanya.
Dengan adanya hunian baru yang sangat membantu bagi masyarakat untuk tempat tinggal, juga harus dipikirkan konsep kestabilan lingkungan di sekitar lokasi pembangunan perumahan baru. Sehingga tidak membebani terhadap lingkungan.
Selain itu, pembangunan hunian di area tersebut, Prasetyawati juga berharap sektor ekonomi di kawasan perumahan baru, secara umum juga meningkat.
“Hunian baru terpenuhi, lingkungan tetap terjaga dan sektor ekonomi pun bergerak tambah maju,” pungkasnya. (muis)