PANGANDARAN, elJabar.com – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) kembali memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP) karena Pemkab Pangandaran belum berhasil menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada tahun 2022. Ini juga mencerminkan kondisi keuangan daerah yang kacau.
Atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Pangandaran Tahun Anggaran 2023 terungkap sejumlah temuan yang sangat mencengangkan.
Dari 16 temuan dan 78 rekomendasi yang disampaikan, teridentifikasi 61 rekomendasi administrasi dan 17 rekomendasi keuangan dengan nilai Rp. 317.101.822.065.
Kemudian dalam LHP BPK atas LKPD Kabupaten Pangandaran, ditemukan kekurangan volume realisasi belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan sebesar Rp 5.470.517.387,45 serta penggunaan kas yang tidak sesuai peruntukannya sebesar Rp 227.610.813.736,00.
Sejumlah temuan tersebut tidak hanya mencerminkan ketidakberesan dalam administrasi dan pengelolaan keuangan daerah, tetapi juga memunculkan indikasi potensi tindak pidana korupsi.
Menurut Pemerhati Anggaran yang juga pengajar di Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA) Perkumpulan Inisiatif, Nandang Suherman, harus dilihat LHP secara utuh. Karena ada yang bersifat administratif, ada yang potensi kerugian negara karena kekurangan volume atau kelebihan bayar.
Yang administratif biasanya diperbaiki dalam waktu tertentu, yang kekurangan volume harus ada pengembalian. Demikian juga dengan kelebihan bayar, harus dikembalikan dalamk waktu tertentu, biasanya 60 hari.
“Karena BPK bukan APH, semestinya setelah lewat pengembalian namun belum dikembalikan, maka APH pro-aktif harus melakukan penyelidikan/penyidikan karena potensi korupsi sangat besar,” tandas Nandang Suherman, kepada elJabar.com, Jum’at (14/06/2024).
Sedangkan Inspektorat menurut Nandang Suherman, bersifat monitoring/asistensi. Perannya sewaktu proyek sedang berjalan, sedangkan kalau sudah finish itu peran BPK
Terkait amburadulnya pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Pangandaran, menurut Nandang ini seluruhnya menjadi tanggungjawab Bupati. Meskipun secara substansial bisa dipilah.
“Seluruhnya, kan menjadi tanggungjawab Bupati. Namun secara substansi nanti bisa dipilah, mana yang menjadi tanggungjawab langsung dari kasus tersebut. Bisa dipenanggungjawab proyek/PPTK, atau pejabat yang lebih tinggi. Tergantung dari hasil penyelidikan dan penyidikan pihak APH,” jelasnya.
Temuan LHP BPK RI terkait penganggaran dan pelaksanaan pendapatan, belanja, defisit, dan pembiayaan pinjaman yang tidak sesuai ketentuan mengindikasikan adanya kesenjangan antara perencanaan dan implementasi kebijakan.
“Nah, peran APH harus pro-aktif setelah adanya LHP BPK ini. Jangan menunggu laporan, karena yang potensi korupsi, bukan pidama umum yang bersifat delik aduan. Temuan BPK yang potensi penyimpangan dan merugikan keuangan negara itu masuk tipikor. Dan tipikor bukan delik aduan,” pungkas Nandang. (muis)