BANDUNG, elJabar.com – Terkait upaya pencegahan penyebaran Covid-19 yang masih belum terkendali, sepertinya pemerintah masih belum menemukan jalan keluar untuk melindungi keselamatan dan kesehatan masyarakatnya.
Protokol kesehatan sebagai salah satu upaya untuk mencegah meluasnya penularan Covid-19, menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat untuk dapat menyesuaikannya. Dan saat ini muncul istilah baru, dengan sebutan the new normal. Sehingga masyarakat ikut latah dengan sebutan the new normal, atau hidup normal baru.
“Kita terpaksa menyesuaikan diri dengan gaya hidup berprotokol kesehatan. Maka latahlah orang dengan sebutan the new normal, hidup normal baru. Kalau cuci tangan, bukan hal aneh. Tapi jaga jarak dan selalu bermasker, itu masih terasa janggal,” ujar Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jabar, Daddy Rohanady, kepada elJabar.com, Kamis (28/5).
Memang Covid-19 penularannya sangat cepat, sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka, kita harus antisipasi. Bahkan, ada yang menjulukinya virus kerumunan.
Namun menurut Daddy Rohanady, tak elok juga rasanya kalau virus yang barasal dari Wuhan-Cina itu diibaratkan istri. Paradigma berpikir seperti itu harus diperbaiki. Istri digauli, sehat kita. Seharusnya pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang jelas, sehingga tidak membuat kebingungan masyarakat dengan sejumlah istilah dan selogan yang tidak dipahami oleh masyarakat.
“Lho, masa virus dijadikan istri, yang benar aja. Pemahaman itu jangan sampai dibarengi dengan kebijakan yang tidak jelas. Seolah menyerahkan permasalahan ini kepada masyarakat. Keluarkan kebijakan yang jelas. Jangan bikin bingung masyarakat,” tegasnya.
Persoalan lain seputar masalah tempat kerumunan orang banyak. Selain kerumunan di tempat keramaian dan atau pusat bisnis lain seperti pasar dan mall, ada lagi tugas tambahan yang membutuhkan penanganan serius. Terkait masalah kerumunan ini, yakni ditempat fasilitas umum seperti terminal, bandara dan pelabuhan.
“Masalahnya ada lagi, yakni soal kerumunan. Kalau di terminal, stasiun, bandara, atau pelabuhan bagaimana? Kiranya itu jadi tugas tambahan buat para petugas di masing-masing lokasi itu,” ujarnya.
Daddy Rohanady mengingatkan kepada pihak pemerintah dan Satgas Percepatan Penanggulangan Covid-19, supaya memperjelas prosedur tetap, penegakan sanksi yang tidak tebang pilih, serta masih adanya diskriminasi dalam menutup fasilitas umum, antara pusat belanja dan pusat ibadah.
Kalau dalam beberapa hari atau dalam minggu-minggu belakangan ini keramaian pasar disebut sebagai klaster baru penyebaran Covid-19, menurut Daddy, sudah seberapa siapkah pemerintah melahirkan stasiun, bandara, dan pelabuhan sebagai klaster baru?
“Masih ada PR lain. Protap diperjelas, sanksi ditegakkan, tapi tidak hanya tajam ke bawah. Kalau mall boleh buka, masa tempat ibadah gak boleh. Kalau diskrimknasi dilakukan, ini menunjukkan ketololan pengambil kebijakan,” tegas Daddy.
Sejumlah anggaran sudah dilakukan pergeseran, untuk kebutuhan penanganan pandemic covid-19. Sehingga Daddy minta pemerintah supaya penggunaannya bisa memenuhi kebutuhan perlindungan keselamatan dan kesehatan, termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat yang terdampak. Dan juga harus ada keterbukaan kepada masyarakat.
“Gunakan anggaran untuk kebutuhan maksimal masyarakat. Dan harus transparan, jangan sampai tidak ada keterbukaan, sehingga masyarakat beranggapan lain terhadap pengelolaan anggaran besar itu,” katanya.
Masalah keselamatan masyarakat terkait kesehatan dan kebutuhan ekonomi ditengah pandemic covid-19, memamng sangat penting dan sulit untuk dipisahkan. Sehingga hal ini butuh perhatian serius dari pemerintah. (MI)