Kronik

Dinamika Penataan Dana Hibah di Jawa Barat: Gubernur Menata, Anggota DPRD Gerah?

LANGKAH Gubernur Jawa Barat dalam melakukan penataan sistem pemberian dana hibah kepada yayasan dan pondok pesantren baru-baru ini menimbulkan kegaduhan politik yang cukup signifikan di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat. Sejumlah anggota DPRD Jabar tampaknya gerah, bahkan secara terbuka memprotes melalui berbagai kanal media sosial.

Protes ini bukan hanya soal kebijakan, namun lebih dalam lagi, menyentuh soal kepentingan politik yang selama ini menjadi bagian dari praktik pengelolaan dana hibah di tingkat daerah.

Kebijakan baru yang diusung oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bertujuan untuk memperbaiki sistem pemberian hibah agar lebih adil dan merata. Selama ini, penerima dana hibah kerap kali didominasi oleh yayasan atau pondok pesantren yang memiliki kedekatan politik dengan para pemangku kebijakan. Akibatnya, distribusi dana hibah menjadi timpang dan tidak mencerminkan keadilan sosial. Padahal masih banyak lembaga lain yang membutuhkan bantuan justru terabaikan.

Gubernur bertekad untuk mengubah pola ini. Ia ingin agar pemberian dana hibah didasarkan pada kebutuhan riil di lapangan, yang ditentukan melalui hasil survei dan verifikasi ketat, bukan lagi melalui pendekatan politik yang rawan praktik “balas jasa” atau transaksi politik lainnya. Kebijakan ini tentu saja mengubah lanskap hubungan antara eksekutif dan legislatif, terutama DPRD Jabar yang selama ini memiliki ruang besar untuk menitipkan aspirasi politiknya melalui mekanisme hibah.

Reaksi keras dari sebagian anggota DPRD Jabar bisa dimengerti dalam konteks ini. Banyak dari mereka yang mungkin sebelumnya menjadikan pemberian hibah kepada konstituen di daerah pemilihan (dapil) sebagai bagian dari kampanye politik mereka. Kini, dengan sistem baru yang lebih transparan dan berbasis kebutuhan nyata, janji-janji tersebut menjadi sulit dipenuhi. Sehingga ini memunculkan kegelisahan, karena ketidakmampuan memenuhi janji politik berpotensi menggerus kredibilitas di mata pemilih.

Dalam berbagai unggahan di media sosial, beberapa anggota DPRD mengungkapkan kekecewaan mereka, dengan narasi seolah-olah kebijakan gubernur mengabaikan aspirasi rakyat, bahkan menuduh gubernur tidak pro terhadap pendidikan Islam. Namun, bila ditelisik lebih dalam, narasi ini sepertinya lebih banyak bermuatan politis yang didasarkan kepentingan pribadi dan kelompok. Bukan semata-mata memperjuangkan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Sisi Lain: Fungsi Pengawasan DPRD yang Terabaikan

Secara normatif, DPRD memiliki tugas pengawasan terhadap penggunaan anggaran daerah, termasuk dalam hal pemberian dana hibah. Alih-alih menggunakan momentum ini untuk memperkuat fungsi pengawasan terhadap praktik penyaluran hibah yang selama ini banyak dipertanyakan, sebagian anggota DPRD justru terjebak dalam kepentingan sempit menjaga basis elektoral mereka.

Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa distribusi hibah di masa lalu sarat dengan penyimpangan. Banyak laporan yang menunjukkan bahwa penerima hibah tidak memenuhi syarat kelayakan, bahkan dalam beberapa kasus, dana tersebut digunakan tidak sesuai peruntukan, dan berakhir di tangan penyidik apparat penegak hukum.

Penyimpangan ini terjadi karena lemahnya verifikasi dan kuatnya pengaruh politik dalam proses seleksi penerima hibah.

Dengan sistem baru yang berbasis survei kebutuhan lapangan, diharapkan dana hibah dapat benar-benar sampai ke tangan pihak-pihak yang membutuhkan. Ini adalah upaya mengembalikan esensi dana hibah sebagai instrumen pemerataan pembangunan, bukan alat transaksi politik.

Azas Keadilan dan Pemerataan: Visi Gubernur Jawa Barat

Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Jawa Barat menegaskan bahwa reformasi sistem pemberian dana hibah ini berangkat dari keinginan untuk menegakkan azas keadilan dan pemerataan. Ia menilai bahwa selama ini, terlalu banyak “nama-nama langganan” yang setiap tahun menerima bantuan, sementara banyak yayasan dan pesantren yang layak menerima justru tidak pernah tersentuh.

Gubernur juga menyadari risiko politik dari kebijakan ini. Ia tahu akan menghadapi resistensi dari sebagian kalangan yang merasa dirugikan, terutama mereka yang selama ini menikmati kemudahan akses hibah karena kedekatan politik. Namun, baginya, keberanian melakukan pembenahan sistem jauh lebih penting daripada mempertahankan status quo yang koruptif dan diskriminatif.

Gubernur ingin setiap rupiah dana hibah tepat sasaran. Tidak boleh lagi ada diskriminasi karena faktor kedekatan politik. Semua lembaga, besar atau kecil, asal memenuhi syarat dan benar-benar membutuhkan, harus mendapatkan kesempatan yang sama.

Transparansi dan Akuntabilitas: Kunci Keberhasilan

Implementasi sistem baru ini tentu saja menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana membangun sistem digital untuk proses pendaftaran, verifikasi, hingga monitoring penggunaan dana hibah. Dengan sistem ini, seluruh proses akan dapat dipantau oleh publik secara terbuka.

Penerapan sistem digital ini bertujuan untuk menghilangkan celah intervensi politik yang tidak sehat. Semua data penerima, besaran bantuan, dan laporan penggunaan dana akan dipublikasikan secara berkala. Dengan demikian, masyarakat dapat ikut mengawasi dan menilai apakah dana hibah benar-benar disalurkan secara adil dan tepat guna.

Di sisi lain, lembaga penerima hibah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana secara transparan. Jika ada penyimpangan, sanksi tegas akan diterapkan, termasuk pengembalian dana dan pelaporan ke aparat penegak hukum.

Masa Depan Penyaluran Dana Hibah di Jawa Barat

Transformasi sistem hibah ini, jika dijalankan dengan konsisten dan jujur, berpotensi menjadi model baru pengelolaan dana hibah di Indonesia. Jawa Barat, sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar, memiliki posisi strategis untuk menjadi pelopor dalam reformasi pengelolaan dana publik berbasis keadilan dan pemerataan.

Tentu saja, tantangan tidak kecil. Resistensi dari kelompok-kelompok yang merasa kehilangan “lahan basah” politik sudah mulai terlihat. Namun, jika reformasi ini berhasil, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan meningkat, dan pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat pun akan lebih merata.

Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya reformasi ini sangat penting. Masyarakat harus kritis terhadap setiap upaya membelokkan kebijakan ini demi kepentingan politik sesaat. Sebaliknya, apresiasi terhadap langkah berani gubernur juga perlu diberikan agar spirit reformasi tidak padam di tengah jalan.

Kebijakan penataan sistem pemberian dana hibah yang dilakukan Gubernur Jawa Barat adalah sebuah langkah progresif yang layak didukung. Meski diwarnai resistensi dari sebagian anggota DPRD yang kehilangan “lahan” politiknya, esensi dari kebijakan ini adalah memperbaiki tata kelola keuangan publik agar lebih adil, merata, dan akuntabel.

Saatnya publik, media, dan elemen masyarakat sipil ikut mengawal perubahan ini. Karena pada akhirnya, keberhasilan reformasi sistem hibah ini bukan hanya soal suksesnya seorang gubernur, melainkan tentang terwujudnya keadilan sosial dan kemajuan Jawa Barat secara keseluruhan.

Penulis adalah Mohamad Isnaeni, Wakil Pemred elJabar.com

Show More
Back to top button