Disiplin Semi Militer: Solusi Tegas Tanpa Kekerasan

DI TENGAH meningkatnya kasus kenakalan remaja, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga perundungan di sekolah dan media sosial, masyarakat kita dihadapkan pada pertanyaan besar: bagaimana membentuk karakter anak muda agar lebih tangguh, disiplin, dan bertanggung jawab? Salah satu pendekatan yang mulai dilirik oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi adalah model pendidikan karakter berbasis disiplin semi militer.
Penting untuk digarisbawahi bahwa ini bukan pendidikan militer, apalagi wajib militer. Tidak ada senjata, tidak ada pelatihan perang, tidak ada indoktrinasi. Yang diambil dari sistem militer hanyalah esensi kedisiplinan, struktur yang jelas, kebersamaan dalam tim, dan tanggung jawab atas tindakan. Pendekatan ini dirancang sebagai terapi sosial dan edukatif, terutama untuk remaja yang mengalami masalah perilaku serius.
Remaja Bermasalah: Gejala dari Lingkungan yang Gagal?
Remaja bermasalah tidak muncul dari ruang hampa. Banyak dari mereka tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung perkembangan psikososial yang sehat: rumah tangga retak, absennya figur otoritas yang konsisten, tekanan ekonomi, pergaulan bebas, hingga gempuran budaya instan dan hedonistik dari media sosial. Akibatnya, mereka mencari pelampiasan: melawan guru, bolos sekolah, terlibat geng motor, bahkan kriminalitas ringan.
Bagi mereka, nasihat normatif tak lagi mempan. Kata-kata seperti “ayo berubah,” “jadilah anak baik,” atau “ingat masa depanmu,” hanya terdengar seperti kebisingan kosong. Dibutuhkan metode pendidikan yang lebih konkret, langsung, dan menyentuh aspek psikologis dan fisiologis sekaligus.
Disiplin Semi Militer: Apa dan Bagaimana?
Pendekatan disiplin semi militer dalam pendidikan karakter mencakup serangkaian metode yang menanamkan nilai-nilai inti seperti: 1) Kedisiplinan waktu dan tindakan, 2) Tanggung jawab individu dan kolektif, 3) Kerja sama tim, 4) Kemandirian dan 5) Ketahanan mental dan fisik.
Dalam praktiknya, program ini biasanya dijalankan dalam format camp atau boarding, selama beberapa bulan hingga setahun. Para peserta bangun pukul 4.30 pagi, diawali dengan kegiatan fisik ringan seperti jogging atau baris-berbaris, dilanjutkan dengan briefing, kegiatan edukatif, pelatihan keterampilan, hingga sesi refleksi atau konseling.
Mereka diajarkan untuk: 1) Merapikan tempat tidur mereka sendiri, 2) Menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, 3) Menyelesaikan tugas kelompok, 4) Menghormati instruktur dan sesama peserta, 5) Tidak mengeluh, namun mencari solusi.
Instruktur program bisa melibatkan tentara yang memiliki kualifikasi sebagai pelatih atau pendidik. Selain itu juga melibatkan tenaga pendidik dari asal sekolah anak yang bersangkutan, serta konselor yang paham psikologi remaja, tetapi memiliki pendekatan yang tegas dan terstruktur. Model ini memadukan behavior modification (modifikasi perilaku) dengan edukasi karakter berbasis nilai.
Bukan Kekerasan, Tapi Keteladanan dan Konsistensi
Salah satu kekhawatiran masyarakat saat mendengar “semi militer” adalah bayangan tentang kekerasan, hukuman fisik, atau intimidasi. Padahal, pendekatan ini justru menolak kekerasan dalam bentuk apapun. Ketegasan tidak berarti kekerasan. Seorang instruktur bisa sangat tegas terhadap waktu, aturan, dan etika, namun tetap menghormati martabat peserta didik.
Dalam banyak kasus, remaja bermasalah justru merasa dihargai ketika mereka ditantang untuk disiplin. Mereka merasa memiliki tempat di mana semua orang diperlakukan sama. Tidak ada “anak emas” atau “anak buangan”. Sistem ini memberi struktur dan kepastian, sesuatu yang sering hilang dalam hidup mereka.
Kritik dan Tantangan
Tentu saja pendekatan ini tidak tanpa kritik. Beberapa pihak khawatir program seperti ini bisa menormalisasi otoritarianisme dalam pendidikan. Ada juga yang mempertanyakan efektivitas jangka panjangnya: apakah anak berubah karena sadar atau karena takut?
Bahkan ada sejumlah pihak yang menyoroti, bahwa program ini “merampas hak anak”, bukan kewenangan TNI untuk mendidik sipil, sampai masalah payung hukumnya. Bahkan ada yang berpendapat, kalau anak-anak bermasalah ini apabila ada tindakan kriminal, pendekatan hukum yang dipakai. Sedangkan kalau hanya kenakalan biasa, pihak sekolah dan keluarga yang menanganinya.
Kritik-kritik ini penting sebagai kontrol. Oleh karena itu, dalam setiap implementasinya, pendekatan ini harus terus dipantau, dan menjamin keamanan serta kesehatan peserta/anak didik.
Selain itu, pendekatan semi militer tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus diikuti dengan pembinaan keluarga, reintegrasi sosial, dan dukungan lanjutan. Tujuannya bukan mencetak anak yang patuh secara membabi buta, tapi anak yang berkarakter kuat dan mampu mengendalikan diri dalam berbagai situasi.
Namun ketika tawuran sudah merajalela, geng motor sudah meresahkan, perundungan hingga fisik, melawan guru dan orang tua, sepertinya sekolah tidak punya energi yang cukup untuk menangani persoalan ini.
Sehingga Dedi Mulyadi sebagai gubernur, mengambil langkah cepat untuk menghadapi persoalan ini, menyelamatkan anak-anak yang dianggap bermasalah, untuk mendapatkan pendidikan khusus dalam mendisiplinkan hidupnya. Dedi Mulyadi juga, tentu sudah mempertimbangkan ini secara matang, meskipun terkesan spontan sebagaimana yang disampaikan dalam media sosialnya.
Tegas, Bukan Keras. Terstruktur, Bukan Kaku
Di tengah kompleksitas zaman, anak-anak muda membutuhkan lebih dari sekadar nasihat bijak. Mereka perlu ruang untuk belajar melalui pengalaman langsung, dalam sistem yang menantang sekaligus mendukung.
Pendekatan disiplin semi militer memang bukanlah solusi tunggal untuk semua masalah kenakalan remaja, tapi bisa menjadi alat transformasi yang efektif bila dilakukan dengan cinta, keilmuan, dan komitmen jangka panjang.
Pendidikan karakter bukan sekadar wacana indah di atas kertas. Ia harus hidup dalam kebiasaan, dalam keteladanan, dan dalam struktur yang membawa anak-anak dari kekacauan menuju keteraturan, dari pemberontakan menuju tanggung jawab.
Penulis adalah Mohamad Isnaeni, Wakil Pemimpin Redaksi elJabar.com