Adikarya ParlemenParlemen

Dorong Percepatan Penanaman Modal Dalam Negeri di Jawa Barat, Tina Wiryawati: Iklim investasi harus ramah pelaku usaha lokal sekaligus berpihak pada UMKM

ADHIKARYA PARLEMEN

BANDUNG, elJabar.com — Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Jawa Barat dinilai masih memiliki ruang akselerasi yang besar, terutama di sektor-sektor padat karya dan penunjang hulu–hilir industri manufaktur, agribisnis, serta ekonomi digital.

Anggota Komisi 3 DPRD Jawa Barat, Tina Wiryawati, menegaskan perlunya langkah terukur antara pemerintah daerah, pelaku usaha, perbankan, dan dunia pendidikan agar PMDN tidak hanya tumbuh dari sisi nilai, tetapi juga menciptakan kualitas lapangan kerja, pemerataan, dan dampak ekonomi berkelanjutan.

Komisi 3 mendorong agar instrumen kebijakan dan layanan perizinan dibuat selaras di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga tidak ada lagi perbedaan tafsir yang membingungkan investor.

“Iklim investasi yang sehat itu bukan sekadar mengundang modal masuk, tetapi memastikan seluruh rantai perizinan tertib, kepastian lahan jelas, infrastruktur siap, dan yang paling penting: pelaku lokal—dari UMKM sampai perusahaan keluarga—merasa dilindungi dan dipermudah,” ujar Tina Wiryawati, kepada elJabar.com.

Menurut Tina, daya tarik Jawa Barat tetap kuat berkat pasar yang besar, tenaga kerja melimpah, kedekatan dengan pusat logistik nasional, dan ekosistem industri yang relatif mapan. Namun demikian, ada pekerjaan rumah yang tidak bisa diabaikan: penyelarasan tata ruang dan kepastian lahan, kesiapan kawasan industri yang ramah lingkungan, serta penguatan jaringan transportasi—terutama konektivitas antarkawasan di luar koridor utama.

“Ketika investor domestik hendak memperluas pabrik atau membangun fasilitas baru, hambatan yang paling sering kami dengar adalah kepastian status lahan dan kejelasan aksesibilitas. Dua hal ini krusial,” tegasnya.

Tina menilai PMDN memegang peran strategis sebagai penyangga stabilitas ekonomi daerah, terutama di tengah dinamika global. Modal domestik, kata dia, lebih resilien karena memahami karakter pasar lokal dan memiliki jejaring pemasok di tingkat daerah.

Kekuatan PMDN itu ada pada kedekatan dengan ekosistem lokal. Mereka tahu preferensi konsumen, kondisi lapangan, dan kultur bisnis.

“Tugas pemerintah daerah adalah memastikan dukungan kebijakan, misalnya melalui insentif fiskal yang tepat sasaran dan kemudahan perizinan berbasis risiko,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya hilirisasi di sektor-sektor unggulan Jawa Barat. Di agribisnis, misalnya, investasi tidak boleh berhenti di budidaya; perlu dorongan untuk industri pengolahan, logistik dingin, dan pemasaran berbasis digital agar nilai tambah dinikmati petani dan pelaku usaha lokal.

Sementara itu di sektor manufaktur, modernisasi fasilitas dan adopsi teknologi—termasuk otomasi dan Internet of Things—perlu mendapatkan skema pembiayaan terjangkau melalui sinergi perbankan dan lembaga penjamin.

“Kita ingin porsi PMDN naik sejalan dengan agenda hilirisasi. Bukan hanya menambah pabrik, tapi menguatkan rantai pasok, meningkatkan kualitas SDM, dan memperluas pasar,” tutur Tina.

Soal kualitas tenaga kerja, Komisi 3 mendorong model pelatihan vokasi yang lebih presisi dengan kebutuhan industri. Tina menilai BLK (balai latihan kerja) dan SMK perlu terhubung langsung dengan rencana investasi agar kurikulumnya adaptif.

“Sering kali investor mengeluhkan mismatch. Kita ingin kurikulum dan sertifikasi sinkron dengan kebutuhan pabrik dan pabrikan jasa. Ini bukan sekadar pelatihan, melainkan desain ekosistem talenta,” ucapnya.

Terkait perizinan, Tina meminta pemerintah daerah konsisten memperkuat layanan berbasis OSS serta pendampingan tatap muka bagi pelaku UMKM dan pengusaha pemula yang belum familier dengan sistem digital.

Integrasi data lintas OPD, BUMD, dan kawasan industri perlu dipercepat agar investor memperoleh gambaran komprehensif tentang kesiapan lahan, ketersediaan utilitas, hingga profil tenaga kerja.

“Digitalisasi itu mempermudah, tetapi tetap butuh pendamping. Saya mendorong adanya ‘rumah konsultasi investasi’ di tingkat kabupaten/kota yang memberikan asistensi gratis, dari persiapan dokumen sampai penilaian risiko,” katanya.

Di sisi regulasi, Komisi 3 menilai evaluasi berkala atas perda dan peraturan turunan yang berpotensi tumpang tindih harus menjadi agenda prioritas.

“Kita tidak boleh kalah cepat dari provinsi lain. Jika ada pasal yang menghambat, revisi. Jika ada celah abu-abu yang bikin pelaku usaha ragu, perjelas. Hukum harus memberikan kepastian sekaligus perlindungan lingkungan,” ujar Tina.

Ia menekankan komitmen terhadap prinsip ESG (environmental, social, governance) dalam setiap proyek, termasuk kewajiban AMDAL dan pengawasan yang tegas.

“Investasi yang baik adalah yang berkelanjutan. Jangan sampai kita hanya mengejar angka, tetapi abai terhadap daya dukung lingkungan dan keselamatan kerja.” Pungkasnya. (muis)

Show More
Back to top button