Kronik

Ijasah Bukan Alat Sandera, Sekolah Bisa di Pidana

DI TENGAH upaya pemerintah meningkatkan kualitas dan pemerataan akses pendidikan, masih banyak siswa yang menghadapi hambatan serius untuk melangkah ke jenjang kehidupan berikutnya.

Salah satu persoalan yang kerap terjadi namun luput dari perhatian publik adalah praktik penahanan ijazah oleh sekolah, dengan alasan siswa belum melunasi sejumlah biaya administrasi. Padahal, praktik ini tidak hanya tidak beretika, tetapi juga melanggar hukum dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan.

Permendikbud Nomor 58 Tahun 2024: Larangan Menahan Ijazah

Pemerintah melalui Permendikbud Nomor 58 Tahun 2024 telah secara tegas melarang sekolah menahan ijazah siswa dengan alasan apapun. Peraturan ini berlaku untuk seluruh satuan pendidikan baik negeri maupun swasta, di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa:

“Ijazah adalah hak peserta didik yang telah lulus satuan pendidikan, dan satuan pendidikan wajib menyerahkannya tanpa syarat, termasuk alasan tunggakan administrasi atau keuangan.”

Aturan ini juga memperkuat amanat Kurikulum Merdeka yang menjamin hak peserta didik untuk memperoleh dokumen kelulusan sebagai bukti capaian akademik dan kunci untuk mengakses pendidikan lebih tinggi atau dunia kerja.

Pasal 372 KUHP: Penahanan Ijazah Bisa Dipidana

Selain melanggar peraturan administratif, penahanan ijazah oleh sekolah juga dapat dipidanakan. Hal ini karena perbuatan tersebut mengandung unsur tindak pidana penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP, yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan…”

Dalam konteks ini, ijazah adalah hak milik siswa, bukan milik sekolah. Sekolah boleh menyimpan ijazah untuk sementara waktu, tetapi tidak berhak menahannya secara permanen atau bersyarat.

Jika sekolah menolak menyerahkan ijazah yang seharusnya diberikan, maka secara hukum, itu dapat ditafsirkan sebagai penguasaan barang orang lain secara melawan hukum—unsur utama penggelapan.

Kasus-Kasus di Lapangan

Di beberapa daerah, laporan penahanan ijazah sering terjadi. Contohnya di Jawa Barat, ribuan siswa lulusan SMA/SMK melaporkan belum menerima ijazah karena tunggakan iuran komite.

Dinas Pendidikan Provinsi pun mengeluarkan Surat Edaran yang memerintahkan seluruh sekolah menyerahkan ijazah paling lambat Februari 2025, dan jika tidak, harus menyerahkannya ke cabang dinas untuk didistribusikan langsung kepada pemilik yang sah.

Langkah ini mendapat dukungan penuh dari Gubernur terpilih Dedi Mulyadi, yang menyatakan akan membentuk tim penyelesaian tunggakan tanpa mengorbankan hak siswa.

Implikasi Hukum dan Sosial

Penahanan ijazah memiliki konsekuensi besar, yakni menghambat siswa melanjutkan kuliah, menghalangi mereka untuk melamar pekerjaan. Serta menciptakan trauma dan diskriminasi pendidikan yang tidak adil.

Dari sisi hukum, apabila orang tua atau siswa melaporkan penahanan ijazah, maka pihak sekolah bisa dikenakan Pasal 372 KUHP, yang ancamannya hingga empat tahun penjara.

Oleh karena itu, pemerintah daerah harus aktif memantau sekolah-sekolah yang melakukan praktik ini, baik negeri maupun swasta.

Orangtua dan siswa yang merasa dirugikan bisa mengadukan ke Polres setempat (melalui unit Reskrim), Ombudsman RI dan Lembaga bantuan hukum (LBH).

Kesimpulan

Ijazah adalah hak, bukan alat sandera. Tidak ada dasar hukum yang membenarkan penahanan ijazah siswa karena alasan biaya.

Bahkan, praktik tersebut bisa dikenakan sanksi pidana. Dengan adanya Permendikbud 58/2024 dan Pasal 372 KUHP, siswa dan orang tua memiliki landasan hukum kuat untuk menuntut keadilan. Sekolah harus kembali ke jati dirinya sebagai lembaga pendidik, bukan penagih hutang.

Penulis adalah Hendi Suryadi, Praktisi hukum dan Ketua Lembaga Advokasi DPD Partai Gerindra Jawa Barat

Show More
Back to top button