JEBAKAN FISKAL ATAU JEBAKAN IMAJINASI

Oleh: Radhar Tribaskoro
DI koran pagi, kita membaca judul besar: Indonesia’s fiscal trap: Four pillars of a coming crisis. Kata “jebakan” mengirimkan rasa gentar. Kata itu menyiratkan masa depan yang tak terelakkan. Seakan-akan ada lubang besar yang sudah menunggu, dan kita semua berjalan ke arahnya dengan mata tertutup.
Tetapi apakah benar demikian? Apakah sejarah fiskal kita bergerak dalam garis lurus menuju krisis, ataukah kita sedang menyaksikan kekhawatiran lama yang kembali dikemas dengan bahasa baru?
Dipo Satria Ramli, penulis artikel itu, membuka dengan angka yang menenteramkan: defisit APBN 2025 hanya 1,4 persen dari Produk Domestik Bruto, jauh di bawah ambang 3 persen yang ditetapkan undang-undang. Tapi kemudian ia menyingkap yang gelap: tax ratio Indonesia anjlok ke titik terendah dalam dua dekade terakhir. Empat “pilar” kerentanan lalu ia susun: defisit struktural, ketergantungan pada pembiayaan eksternal, keterlibatan Bank Indonesia dalam burden sharing, dan belanja fiskal yang cenderung politis.
Argumennya rapi, seperti menyusun kerangka rumah yang sedang retak. Tapi barangkali ia lupa, rumah ini berdiri di atas tanah yang dinamis: ekonomi adalah medan tarik-menarik, bukan gedung yang hanya menunggu ambruk.
Mari kita lihat pilar pertama: defisit struktural. Indonesia memang punya masalah klasik: basis pajak sempit. Tax ratio kita, sekitar 8,4 persen PDB, kalah jauh dari Vietnam yang sudah menembus 16 persen, atau bahkan Filipina yang mencapai 14 persen. Negara ini memang tak piawai menarik pajak dari warganya, apalagi dari konglomerat yang lihai bersembunyi di balik skema transfer pricing.
Tapi apakah itu tanda sebuah krisis fiskal yang pasti? Tidak selalu. India, misalnya, bertahun-tahun bertahan dengan tax ratio tak jauh dari kita, sambil tetap menjaga pertumbuhan. Yang menentukan bukan hanya persentase penerimaan, tapi juga kredibilitas negara di mata investor, kemampuan mengelola utang, dan kecepatan ekonomi tumbuh. Indonesia masih punya ruang: rasio utang terhadap PDB sekitar 40 persen, jauh di bawah batas aman 60 persen yang dianjurkan IMF.
Bahaya ada, tapi tidak otomatis jadi bencana. Menyebutnya “jebakan” bisa jadi lebih menyerupai retorika ketimbang ramalan.
Pilar kedua: ketergantungan pada pembiayaan eksternal. Memang benar, sejarah kita mencatat luka lama. Tahun 1998, saat krisis Asia melanda, modal asing lari, rupiah jatuh, utang menumpuk. Trauma itu membekas. Tetapi apakah 2025 sama dengan 1998?
Kondisinya tidak identik. Kini, porsi investor domestik di pasar surat utang negara lebih besar: dana pensiun, asuransi, bahkan tabungan rumah tangga yang mengalir melalui obligasi ritel. Diversifikasi instrumen pembiayaan juga makin kaya: sukuk, green bonds, obligasi global, hingga pembiayaan berbasis syariah. Ketergantungan pada asing tak seberat dulu.
Maka, menyebut Indonesia terlalu rentan karena utang luar negeri adalah mengabaikan struktur baru yang sudah dibangun. Risiko itu ada, tetapi tidak sesederhana bayangan tentang pintu jebakan yang menunggu terbuka.
Pilar ketiga: keterlibatan Bank Indonesia. Penulis menyebut burden sharing—BI membeli obligasi pemerintah—sebagai bentuk monetisasi fiskal yang berbahaya. Seolah independensi BI sedang runtuh, dan kredibilitas moneter terkikis.
Tapi mari kita bertanya: apakah hanya Indonesia yang melakukan itu? Jepang sudah melakukannya selama tiga dekade. Bank Sentral Eropa menggelontorkan quantitative easing sejak krisis 2008. The Fed di Amerika bahkan lebih agresif, mencetak triliunan dolar untuk menopang ekonomi. Mereka tidak runtuh ke jurang fiskal, justru keluar dari resesi.
Independensi bank sentral bukan soal “tidak pernah membeli obligasi negara”. Independensi adalah soal kapasitas membuat keputusan berdasarkan mandat stabilitas, bukan tekanan politik semata. Selama BI masih mampu mengendalikan inflasi dan kurs rupiah, maka burden sharing bisa dipahami bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai instrumen luar biasa untuk menghadapi masa luar biasa.
Pilar keempat: distribusi fiskal yang timpang dan politis. Artikel itu menuduh belanja sosial sebagai instrumen populis, seakan-akan bansos adalah candu yang menggerogoti fiskal. Tapi bukankah belanja sosial juga bisa dibaca sebagai counter-cyclical policy—kebijakan yang justru dibutuhkan ketika daya beli rakyat melemah?
Di India, program distribusi pangan murah dianggap penyelamat ketika pandemi mengguncang. Di Amerika, stimulus checks menjadi penopang konsumsi. Mengapa di Indonesia, program serupa langsung dicurigai sebagai populisme murahan?
Masalahnya bukan pada bansos itu sendiri, melainkan pada pengelolaannya: apakah tepat sasaran, apakah diawasi, apakah mampu mengubah struktur kemiskinan. Menolak bansos sama saja dengan menutup mata pada kenyataan bahwa jutaan keluarga hanya bisa bertahan hidup dari uang yang mereka terima di akhir bulan.
Keempat pilar itu, jika kita gabungkan, lebih menyerupai sebuah konstruksi pesimisme. Benar bahwa fondasi fiskal kita rapuh. Tapi apakah rapuh selalu berarti runtuh? Tidak selalu. Negara ini sudah beberapa kali berjalan di tepi jurang—tahun 1965, 1998, bahkan 2020 saat pandemi. Tetapi ia selalu menemukan cara untuk menyeimbangkan diri, entah dengan menegosiasikan utang, entah dengan menyesuaikan kurs, entah dengan memperluas basis penerimaan.
Yang sering luput dibaca adalah kemampuan sistem ini untuk beradaptasi. Luhmann, seorang teoritikus sistem, pernah menulis: “Sistem bertahan bukan karena bebas dari krisis, melainkan karena mampu mengolah krisis menjadi bagian dari reproduksinya.” Ekonomi Indonesia, dengan segala tambal sulamnya, adalah bukti dari kalimat itu.
Namun, jangan salah paham. Menolak pesimisme bukan berarti menutup mata. Kita memang perlu membenahi tax ratio dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar menaikkan tarif tapi memperluas basis: menertibkan sektor digital, mengawasi transaksi lintas negara, memperkuat integrasi data antara pajak, bea cukai, dan perbankan. Kita memang harus hati-hati dengan pembiayaan luar negeri, memilih instrumen yang memperbesar pasar domestik ketimbang menjerat diri pada utang berdenominasi dolar.
Kita juga harus menjaga BI tetap kredibel: burden sharing boleh, tapi sementara; kebijakan moneter harus tetap transparan dan akuntabel. Dan bansos harus dikelola sebagai investasi sosial, bukan alat politik. Di titik inilah kritik penulis ada benarnya: risiko besar memang datang ketika APBN dijadikan panggung politik, bukan alat rasional untuk menata negara.
Apakah kita menuju jebakan fiskal?
Barangkali tidak. Barangkali kita sedang menuju persimpangan, di mana arah ditentukan oleh pilihan hari ini. Pilihan untuk menutup celah pajak atau terus memanjakan konglomerat. Pilihan untuk memperkuat instrumen domestik atau membiarkan diri terombang-ambing pasar global. Pilihan untuk mengelola bansos sebagai kebijakan berjangka panjang, atau menjadikannya sekadar umpan elektoral.
Krisis bukanlah takdir. Ia hanya terjadi bila kita memilih jalan yang salah dan terus berjalan tanpa koreksi.
Mungkin yang lebih berbahaya dari jebakan fiskal adalah jebakan imajinasi: imajinasi yang melihat masa depan hanya dengan kacamata kehancuran. Imajinasi itu bisa membuat kita kehilangan energi untuk membangun, karena kita terlalu sibuk menunggu jatuh.
Sejarah Indonesia membuktikan, berkali-kali, bahwa bangsa ini pandai selamat dari krisis. Bukan karena ia sempurna, tapi karena ia belajar mengubah kerentanan menjadi adaptasi.
Dan mungkin, di situlah sebenarnya kita berdiri hari ini. Bukan di mulut lubang, melainkan di persimpangan: antara alarm yang menakut-nakuti, dan kesadaran yang mengajak kita menata ulang. ***