ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, eljabar.com — Kerusakan hutan yang sulit dihindari secara nasional, merupakan konsekuensi dari pengembangan infrastruktur sebagai bagian dari program Koridor Ekonomi Jawa, dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Sama seperti halnya kondisi hutan di Jawa Barat. Luas kawasan hutan provinsi ini telah mengalami penurunan sekitar 30% untuk hutan primer dan 26% untuk hutan sekunder.
Dari total tersebut, sebagian besar lahan hutan dipergunakan untuk lahan pembangunan yang mencapai 18 ribu hektar per tahun.
“Daerah tidak bisa berbuat banyak dengan kebijakan pusat dalam pengelolaan hutan, yang menjadi wilayah kewenangan pusat. Ini sungguh sangat mengkhawatirkan,” ujar Wakil Ketua Komisi 2 DPRD Jawa Barat Hj. Lina Ruslinawati, kepada elJabar.com.
Sisa luas hutan Jawa Barat sekitar 698.368 hektar. Dan untuk lahan hutan lindung yang dimaksud, sepertinya tidak berwujud hutan belantara. Melainkan telah berubah menjadi kawasan pertanian, perkebunan dan permukiman.
Akibatnya seperti yang kita tahu, sejak tiga tahun yang lalu terjadi peningkatan bencana banjir dan longsor di Jawa Barat. Selain akibat curah hujan yang tinggi, hal ini juga disebabkan oleh kerusakan daerah aliran sungai, lahan kritis, alih fungsi lahan, serta luas hutan yang berkurang.
Selain itu, keanekaragaman hayati semakin hilang akibat luas hutan yang terus berkurang. Dan tentunya ini akan mengurangi terhadap produktivitas dan ketahanan ekosistem hutan secara keseluruhan.
“Yakni turunnya populasi satwa, berbanding lurus dengan laju deforestasi. Praktek-praktek seperti inilah yang harus kita cegah, supaya tidak mengancam terhadap ketahanan ekosistem yang ada,” ungkapnya.
Ribuan hektar lahan saat ini, dalam kondisi kritis yang sangat mengkhawatirkan. Sementara itu, rusaknya hutan dari fungsi yang semestinya, tentunya menjadikan keprihatinan bagi kita semua.
Apalagi dengan masih terjadinya pembakaran hutan serta penebangan hutan secara liar akibat deforestasi, semakin memperparah kondisi dan fungsi hutan tersebut.
Aktivitas tersebut selain dilakukan secara massif, juga mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan ekosistem di dalamnya, termasuk manusia itu sendiri. Oleh karena itu, hutan sebagai paru-paru dunia harus segera dikembalikan terhadap fungsinya.
Kita tahu, bahwa sebagian besar hutan menghasilkan oksigen yang kita butuhkan setiap hari. Tidak bisa dibayangkan tanpa adanya oksigen makhluk hidup di bumi ini, akan terancam mati dan punah.
Sehingga reboisasi hutan secara besar-besaran menurut Lina Ruslinawati, perlu dilakukan secara massif juga. Mengingat keberadaan hutan sangat penting bagi seluruh makhluk hidup, dan juga manusia bergantung dengan hutan.
“Wajib bagi kita untuk melakukan reboisasi, mengembalikan hutan seperti sedia kala. Dan membantu ekosistem yang ada di dalamnya agar tidak masuk ke jurang kepunahan. Kita harus mendorong atas kesadaran setiap manusia, untuk kembali giat menanam satu batang pohon untuk satu orang,” ajaknya.
Setiap tahunnya, di sejumlah daerah di Indonesia terdapat sejumlah titik-titik api. Titik api ini semakin lama akan merambah hutan-hutan yang ada di Indonesia, yang sebagian besar merupakan hutan gambut. Hutan gambut sendiri sangat rentan dan mudah terbakar.
Apalagi dengan bantuan hembusan angin, titik-titik api tersebut dengan sangat mudahnya menjalar dan meluluhlantahkan semua yang ada dihadapan api tersebut.
Memang upaya pemerintah dalam menangani kebakaran hutan yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia, sudah dilakukan. Namun itu saja tidak cukup.
“Harus ada kesadaran masyarakat jugfa terhadap dampak dari penebangan dan pembakaran hutan tersebut. Untuk itu, mari kita bersama-sama untuk menjaga hutan dari penjarahan, serta mengoptimalkan kembali upaya mereboisasi hutan ini,” pungkasnya. (muis)