BANDUNG, elJabar.com — Sumberdaya tanah pada masyarakat agraris merupakan faktor produksi yang paling penting. Penguasaan tanah tidak hanya bermakna ekonomis dalam arti sebagai sumber kehidupan, tetapi juga kerap bermakna kultural.
Pandangan seperti ini memberikan konotasi bahwa masalah pertanahan adalah masalah hubungan manusia dengan tanah. Padahal, persoalan penguasaan tanah juga menyangkut hubungan sosial, ekonomi, dan politik.
Persoalan penguasaan tanah pada masyarakat agraris justru lebih menyangkut masalah penyebaran dan pembagiannya, yang pada gilirannya menyangkut masalah hubungan kerja dan hubungan aktivitas dalam proses produksi.
Hal ini menurut Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat, H. Mirza Agam, bertalian erat dengan masalah penyebaran kekayaan, pendapatan, kesempatan-kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik.
Konsentrasi penguasaan tanah oleh sekelompok kecil masyarakat dianggap sebagai ketimpangan yang akan berpengaruh terhadap pembagian pendapatan dan selanjutnya akan mengarah ke proses polarisasi masyarakat.
“Dengan demikian, struktur penguasaan tanah yang adil, akan membuka akses yang sama bagi setiap lapisan masyarakat terhadap penguasaan ekonomi dan politik,” ujarnya, kepada elJabar.com.
Begitu pentingnya persoalan penguasaan tanah. Kenyataan menunjukkan bahwa penguasaan tanah pada masyarakat sangat timpang. Kondisi ini semakin rumit dengan semakin menggejalanya arus komersialisasi tanah di pedesaan dan di perkotaan.
Selain itu, semakin terdesaknya pemilik maupun penguasa tanah dan buruh tani yang sangat mengandalkan hidupnya pada tanah, menyebabkan masalah tanah menjadi masalah politik yang sangat rumit.
Sejalan dengan munculnya kasus sengketa tanah, telah muncul kesadaran politik baru dari mereka yang tergusur. Apabila dibiarkan, hal ini akan menjadi masalah sosial politik yang sangat riskan. Di sisi lain, pertimbangan politik ekonomi pemerintah yang cenderung bercorak kapitalis dan mengutamakan pertumbuhan ekonomi, semakin memperkusut persoalan pertanahan.
Kelompok-kelompok yang seharusnya mendapatkan prioritas aset produksi tanah, yaitu petani penggarap, petani kecil, buruh tani tunakisma, dan kelompok tergusur, justru semakin terseret pada kondisi yang sangat buruk.
“Di Jawa Barat misalnya, beberapa tahun terakhir ini terjadi penggusuran lahan garapan petani secara besar-besaran,” ungkapnya.
Demikian pula petani kecil dan buruh tani tunakisma, kini semakin sulit memperoleh akses atas tanah. Pola hubungan produksi yang cenderung rasional, misalnya dari bagi hasil ke sewa, semakin mempersulit kondisi mereka.
“Penggusuran tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan semakin menggejala. Dan itu telah terjadi penurunan kualitas hidup dari mereka yang tergusur,” ungkapnya lagi.
Selama lebih dua dekade terakhir ini, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto nasional maupun regional cenderung menurun. Harapan ini tampaknya akan memperkecil arti sektor pertanian.
“Padahal sektor inilah yang sewajarnya mendapat perhatian utama, karena secara riil mampu menyerap tenaga kerja lebih besar,” terang H. Mirza Agam, yang juga merupakan Anggota Komisi 1 DPRD Jabar.
Konsekuensinya, dalam satu dasawarsa terakhir ini sektor industri mendapatkan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian misalnya. Tanpa mengecilkan arti pembangunan sektor pertanian yang ada, tampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembangunan pertanian kita cenderung berorientasi produksi, dibandingkan penataan hubungan yang lebih adil dalam penguasaan tanah.
“Selain persoalan tanah sebagai sumber pendapatan keluarga, dewasa ini tanah yang semakin terbatas telah menjadi rebutan antar sector. Misalnya antara kepentingan industri, pemukiman, pertanian, dan kebutuhan lain,” jelasnya.
Hal ini telah menimbulkan konflik-konflik besar yang mewarnai perjalanan sejarah pembangunan Indonesia, akibat ketidakjelasan ruang kebutuhan satu sektor dengan sektor lainnya. Di satu pihak “pembangunan” memerlukan lahan sebagai sarana utama, tetapi di pihak lain tanah masih dijadikan jaminan hidup, terutama oleh mereka yang berpendapatan dari sektor pertanian.
Kecenderungan pengabaian distribusi aset produksi bagi petani kecil dan buruh tani tunakisma, semakin menggejalanya penggusuran lahan garapan petani, penggusuran tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan, dan kebijakan pertanahan yang cenderung mengejar target produksi tanpa penataan struktur penguasaan tanah.
“Langsung maupun tidak, hal ini akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan pendapatan bagi masyarakat pedesaan. Khususnya fenomena ketimpangan di Jawa Barat,” pungkasnya. (muis)