Komitmen Konservasi Alam di Jawa Barat: Antara Harapan dan Tantangan

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Konservasi alam di Provinsi Jawa Barat kembali menjadi sorotan utama setelah berbagai fenomena lingkungan seperti banjir bandang, longsor, kekeringan, hingga pencemaran sungai kian sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Wilayah yang dikenal dengan kekayaan alamnya ini kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan.
Lina Ruslinawati, Wakil Ketua Komisi 2 DPRD Jawa Barat, menyampaikan pandangannya soal urgensi konservasi alam yang lebih progresif dan terencana. Politisi dari Fraksi Partai Gerindra ini menekankan bahwa konservasi tidak lagi bisa dipandang sebagai urusan sampingan atau sekadar kegiatan seremonial tahunan.
“Jawa Barat punya sejarah panjang dengan alamnya. Kita diberkahi hutan, gunung, dan sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Namun jika kita tidak segera mengambil langkah konkret untuk konservasi, kita akan kehilangan semuanya,” ujar Lina Ruslinawati, kepada elJabar.com.
Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, hingga tahun 2024 hanya tersisa sekitar 19% dari total luas kawasan hutan yang dalam kondisi baik. Laju alih fungsi lahan untuk permukiman dan industri diperkirakan mencapai 3.000 hektar per tahun, terutama di kawasan metropolitan seperti Bandung Raya, Bogor, Bekasi, dan Cirebon.
Selain itu, kualitas air sungai di 15 Daerah Aliran Sungai (DAS) utama di Jawa Barat cenderung menurun. Sungai Citarum yang sempat dinobatkan sebagai sungai terkotor di dunia, meskipun telah melalui program Citarum Harum, masih menghadapi tantangan serius dari limbah rumah tangga dan industri.
“Bencana yang sering terjadi seperti banjir di Garut, longsor di Sukabumi, dan kekeringan di Indramayu adalah akibat dari kerusakan ekologis. Kita butuh regulasi yang tidak hanya kuat di atas kertas, tapi juga tegas di lapangan,” kata Lina menekankan.
Komisi 2 DPRD Jawa Barat, yang membidangi ekonomi dan sumber daya alam, terus mendorong penguatan peraturan daerah (Perda) terkait perlindungan kawasan lindung dan konservasi ekosistem.
Salah satu langkah konkret adalah penguatan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Kawasan pesisir dan laut Jawa Barat, terutama di wilayah Selatan seperti Pangandaran, Garut, dan Sukabumi, dianggap sangat rentan terhadap eksploitasi berlebihan.
Lina juga menyatakan bahwa DPRD bersama pemerintah provinsi telah mengalokasikan dana khusus melalui APBD 2025 untuk program reboisasi, penguatan kelembagaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), serta revitalisasi kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Ciremai dan Cagar Alam Kamojang.
Konservasi bukan hanya tugas pemerintah, tegas Lina. Menurutnya, keterlibatan aktif masyarakat lokal, pelaku usaha, akademisi, dan organisasi lingkungan sangat dibutuhkan.
“Kita harus mengedukasi masyarakat bahwa konservasi bukan musuh pembangunan. Justru dengan menjaga alam, kita memastikan keberlanjutan ekonomi dan kehidupan sosial,” jelas Lina.
Ia mencontohkan keberhasilan program konservasi berbasis masyarakat di Desa Sukajaya, Kabupaten Bogor, yang berhasil mengembangkan ekowisata berbasis pelestarian hutan bambu. Program ini didukung oleh kolaborasi antara pemda, LSM, dan sektor swasta.
Namun tidak semua wilayah seberuntung itu. Di daerah seperti Karawang dan Purwakarta, banyak kawasan hutan produksi yang kini telah berubah menjadi kawasan industri dan perumahan. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dari aparat pemerintah setempat serta rendahnya kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban reklamasi atau penghijauan.
Dalam konteks global, isu konservasi tidak bisa dilepaskan dari tantangan perubahan iklim. Jawa Barat adalah salah satu wilayah yang paling terdampak oleh perubahan iklim, termasuk penurunan curah hujan, peningkatan suhu ekstrem, dan anomali cuaca lainnya.
“Kita ini sedang menghadapi krisis iklim. Jika tidak ada konservasi, maka resiliensi (daya tahan) masyarakat Jawa Barat akan terus menurun. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi isu keberlangsungan hidup,” tegas Lina.
Ia juga menambahkan bahwa pendidikan lingkungan sejak dini harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Selain itu, DPRD mendorong pemerintah untuk memperkuat program konservasi berbasis digital, seperti pemantauan satelit untuk mendeteksi pembalakan liar dan perubahan tutupan lahan.
Di tengah semangat konservasi, konflik kepentingan antara investasi dan pelestarian alam sering kali menjadi batu sandungan. Tak jarang izin industri atau tambang diterbitkan di kawasan yang sebenarnya memiliki nilai ekologis tinggi.
Lina menegaskan bahwa pihaknya sedang mengkaji ulang sejumlah izin lama yang berpotensi merusak lingkungan, terutama di kawasan sekitar Gunung Gede Pangrango dan kawasan hulu DAS Cimanuk.
“Kita tidak anti-investasi. Tapi investasi yang merusak lingkungan hanya akan menyisakan penderitaan jangka panjang. Harus ada keseimbangan antara ekonomi dan ekologi,” katanya tegas.
Lina Ruslinawati menyerukan agar konservasi menjadi gerakan bersama, bukan sekadar program pemerintah. Ia menekankan perlunya pembentukan Green Task Force di tingkat provinsi yang terdiri dari unsur legislatif, eksekutif, akademisi, dan organisasi masyarakat.
“Konservasi bukan hanya warisan masa lalu, tapi investasi untuk masa depan. Jangan sampai anak cucu kita hanya melihat gunung dan hutan lewat buku sejarah atau museum,” pungkasnya. (muis)