ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Dengan adanya tingkat pertumbuhan populasi yang begitu relatif cepat di Jawa Barat, maka membuat kebutuhan akan sumber daya alam semakin meningkat pula.
Sisa hutan sebagai modal alam yang memberikan layanan jasa lingkungan bagi jutaan orang, tidak luput dari tekanan dengan memanfaatkannya secara tidak berkelanjutan.
Sehingga saat ini tutupan hutan di Jawa Barat hanya 22%, dengan luasan hutan alam tersisa 816.000 hektar, yang terdiri dari hutan taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung dan hutan produksi.
Sejumlah daerah aliran sungai utama yaitu Ciliwung, Cisadane, Citarum dan Cimandiri, menyediakan jasa lingkungan berupa air bersih bagi lebih dari 30 juta orang yang tinggal disekitarnya, termasuk Jakarta.
Jasa lingkungan tersebut tentunya sangat bermanfaat pada sektor rumah tangga, pertanian, industri hingga pariwisata.
Apabila melihat topografi Jawa Barat yang sebagian besar merupakan daerah pegunungan, maka menurut Anggota Komisi 2 DPRD Jawa Barat, Mirza Agam, ini sangat rentan terhadap bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.
“Sehingga upaya mempertahankan hutan yang tersisa dan dengan memperbaiki kondisi hutan yang rusak, harus lebih serius lagi. Karena upaya ini dapat menghindari terjadinya bencana. Mencegah kerusakan alam,” ujar Mirza Agam, kepada elJabar.com.
Kerusakan kawasan hutan akibat pemanfaatan secara berlebihan, dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hutan sebagai penyedia jasa lingkungan bagi jutaan manusia yang tinggal disekitarnya.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal dekat kawasan hutan, bermata pencaharian sebagai petani. Dengan keterbatasan lahan pertanian, menyebabkan masyarakat memanfaatkannya dengan membuka kawasan hutan menjadi area pertanian.
“Terjadinya perubahan kawasan hutan menjadi pemukiman dan industry, tentunya menyebabkan penurunan fungsi kawasan hutan. Ini yang memperihatinkan kita semua,” ungkapnya.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan, masih memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Begitu juga masyarakat umum, juga masih memiliki tingkat kesadaran konservasi yang rendah.
Kebanyakan dari mereka, belum memahami akan arti pentingnya hutan beserta potensi yang dikandung didalamnya, bagi kesejahteraan masyarakat luas.
Setiap tahunnya perlu dilakukan pemeliharaan maksimal, melalui kegiatan pemantauan dan penggantian (penyulaman) tanaman yang tidak dapat bertahan hidup. Selain itu, juga perlu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat sekitar, agar menjadi penyangga sosial dalam upaya konservasi alam, khususnya di kawasan taman nasional.
“Untuk menyikapi persoalan ini, maka perlu ada upaya untuk mengembalikan fungsi kawasan perluasan hutan, melalui restorasi ekosistem dan peran aktif masyarakat,” ujarnya.
Persoalan ini tidak cukup hanya menghitung angka-angka saja. Tapi perlu ada sebuah gerakan yang lebih kencang lagi, dimana pemerintah menggandeng sejumlah kelompok masyarakat yang memang selama ini sudah konsen dalam konservasi hutan.
Kerjasama ini untuk membangun dan mengembangkan Pusat Pendidikan Konservasi Alam pada sejumlah kawasan hutan konservasi. Seperti yang kita tahu diwilayah Jawa Barat, terletak area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Tempat ini bertujuan untuk memperkenalkan hutan tropis pada masyarakat luas, khususnya masyarakat di sekitar taman nasional, melalui program pendidikan, ekowisata dan penelitian.
Pengembangannya, selain menjadi pusat pendidikan, juga melakukan pendidikan keliling dengan mengunjungi sekolah-sekolah dan masyarakat di sekitar hutan.
“Masyarakat memiliki peranan penting dalam upaya konservasi. Dengan kegiatan pemberdayaan ini, diharapkan masyarakat dapat mengurangi ketergantungan akan penggunaan lahan hutan, khususnya yang menjadi kawasan taman nasional,” pungkasnya. (muis)