Hukum

LPSE Masih Rawan Penyimpangan

BANDUNG, elJabar.com — Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik LPSE merupakan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan secara elektronik dengan memanfaatkan dukungan teknologi informasi (IT).

Tentunya system LPSE ini dengan tujuan agar dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, mutu, dan transparansi dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Namun pada prakteknya dilapangan masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh ULP/Pokja dan juga para peserta lelang. Dalam sistem LPSE, ULP/Pokja merupakan organ yang paling berwenang dan berkuasa untuk menetapkan siapa pemenang lelang. ULP/Pokja berkuasa menentukan persyaratan-persyaratan administrasi dan teknis yang dituangkan dalam dokumen pengadaan.

Atau boleh kita artikan siapa peserta lelang yang lebih siap memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut dialah yang berpeluang besar memenangkan kompetisi lelang pengadaan barang/jasa tersebut. Tentunya juga dengan intervensi pemangku kebijakan lainnya juga.

Direktur Taxation Advocacy Group (TAG) Dedi Haryadi, menilai bahwa system LPSE ini memang diharapkan bisa mengurangi resiko adanya praktek KKN. Namun system ini menurut Dedi Haryadi, tetap saja dikendalikan oleh manusia.

“Sebagai sistem ok. LPSE bisa membuat penyedian barang dan jasa lebih efektif dan efesien. Waktu lebih singkat. Risiko kKN sebenarnya bisa berkurang/dikendalikan. Tapi pemenang tender tidak ditentukan oleh system, tapi oleh manusia,” jelas Dedi Haryadi, kepada eljabar.com, Kamis (05/09/2019).

Faktor SDM merupakan penentu dalam terjadinya praktek suap menyuap dalam system sebagus apapun. Sehingga LPSE gagal dalam mengatasi KKN.

“Inilah yang menyebabkan suap menyuap masih terjadi dalam penentuan pemenang tender. Kembli ke faktor manusia. Manusia dibelakang sistem LPSE inilah yang menyebabkan LPSE gagal, tidak bisa mengatasi KKN dalam pengadaan barang dan jasa,” ungkapnya.

Sistem LPSE yang saat ini dipakai dalam sistem lelang barang/jasa pemerintah, rawan disalahgunakan oleh ULP/Pokja/Pejabat berwenang LPSE. Dalam system LPSE, saat pemasukan (upload) dokumen penawaran yang telah ditentukan batas akhir upload, para peserta lelang me-upload dokumen penawaran melalui LPSE dengan User ID masing-masing, tanpa tahu siapa saja peserta lelang lainnya yang ikut penawaran lelang tersebut.

Lalu para peserta lelang hanya menunggu hasil pengumuman evaluasi dan penetapan pemenang oleh ULP/Pokja juga, tidak tahu kelengkapan isi dokumen penawaran peserta lainnya, dan public juga tidak bisa mengakses.

Inilah menurut Dedi Haryadi, yang rawan digunakan oleh pejabat yang berwenang untuk bermain curang dengan keberpihakan pada salah satu peserta lelang.

“Dokumen kontrak, tetap tidak bisa diakses. Sistem masih bisa diakali untuk memenangkan vendor/supplier tertentu,” tandasnya.

Sehingga untuk mengantisipasi kecurangan dan kelemahan LPSE ini, menurut Dedi Haryadi, perlu dilakukan dengan cara open contracting dan disclosure beneficial ownership. Sehingga public bias mengakses dan mengetahui siapa sesungguhnya pemenang tender dan kaitannya dengan penyelenggara tender.

“Lakukan open contracting dan disclosore benefecial ownership (BO) atau pemilik manfaat yang sesungguhnya dari perusahaan, dibuka juga ke publik. Kontrak-kontrak pemerintah dengan pihak swasta buka saja ke public. Kalau BO terbuka, akan diketahui siapa sesungguhnya pemenang tender. Adakah kaitan pejabat yang melakukan tender?” pungkasnya. (muis)

Show More
Back to top button