Makna Filosofis Hari Kebangkitan Nasional: Dari Kesadaran Kolektif Menuju Tanggung Jawab Sejarah

SETIAP tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional, sebuah tonggak historis yang menandai lahirnya kesadaran kolektif sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan berhak menentukan nasibnya sendiri.
Di balik peringatan ini, tersimpan makna filosofis yang jauh lebih dalam dari sekadar seremoni atau pengulangan sejarah. Hari Kebangkitan Nasional adalah momen reflektif untuk menakar kembali nilai-nilai dasar bangsa ini: kesadaran, persatuan, dan tanggung jawab kolektif terhadap cita-cita kemerdekaan.
Kebangkitan Sebagai Kesadaran Diri Kolektif
Secara filosofis, kebangkitan tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia berakar pada kesadaran diri: bahwa sebagai bangsa, kita tidak boleh tunduk pada belenggu ketertinggalan, keterjajahan, dan kejumudan berpikir.
Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 1908 adalah manifestasi pertama dari kesadaran nasional—kesadaran bahwa penjajahan bukan hanya fisik, tetapi juga kultural dan intelektual. Inilah kesadaran yang oleh filsuf Prancis René Descartes disebut sebagai cogito—“Aku berpikir, maka aku ada”—tetapi dalam konteks bangsa: “Kami sadar, maka kami bangkit.”
Kesadaran ini tidak lahir dari kekuatan senjata, tetapi dari pendidikan, kebudayaan, dan semangat untuk menjadi manusia yang merdeka. Inilah kebangkitan sejati: ketika akal budi mengambil alih narasi sejarah yang selama ini ditulis oleh para penjajah.
Kebangkitan sebagai Persatuan
Filosofi kebangkitan juga menyiratkan perlunya solidaritas dan persatuan. Para pelopor kebangkitan—dokter, guru, pelajar, kaum intelektual—datang dari berbagai suku, agama, dan latar sosial. Namun mereka dipersatukan oleh kesamaan nasib dan cita-cita: mengakhiri dominasi asing dan membangun bangsa yang berdaulat. Dalam hal ini, kebangkitan nasional adalah perwujudan nyata dari filsafat interkoneksi manusia, seperti yang digaungkan Martin Buber dalam “I and Thou”—bahwa manusia menjadi manusia sejati melalui relasi dengan sesama.
Tanpa rasa persatuan, kebangkitan hanya akan menjadi ego sektoral. Tanpa semangat kolektif, kemerdekaan hanya akan menjadi semu. Hari Kebangkitan Nasional mengingatkan kita bahwa perjuangan terbesar bangsa ini bukan melawan musuh di luar, tetapi melawan egoisme, perpecahan, dan sikap apatis di antara kita sendiri.
Tanggung Jawab Sejarah sebagai Etika Kebangsaan
Bangkit berarti memikul beban sejarah. Dalam perspektif filsafat eksistensialisme, khususnya menurut Jean-Paul Sartre, kebebasan datang dengan tanggung jawab. Kebangkitan Nasional bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab sejarah: untuk menjaga kemerdekaan, mengisi kemajuan, dan memastikan keadilan sosial bukan hanya semboyan.
Generasi pascakemerdekaan tidak lagi menghadapi penjajah secara fisik, tapi menghadapi bentuk penjajahan baru: ketimpangan ekonomi, kebodohan sistemik, korupsi, kerusakan lingkungan, dan kemiskinan struktural. Maka, Hari Kebangkitan Nasional harus menjadi panggilan moral bagi generasi muda untuk tidak larut dalam romantisme masa lalu, melainkan aktif menciptakan sejarah hari ini.
Kebangkitan dalam Konteks Kekinian
Apa makna kebangkitan dalam dunia yang serba cepat dan digital seperti sekarang? Tantangannya telah berubah bentuk. Kita tidak lagi berjuang di medan perang, tetapi di ruang-ruang kesadaran: melawan hoaks, polarisasi sosial, hilangnya etika publik, dan lunturnya nilai-nilai kebangsaan. Kebangkitan hari ini berarti menumbuhkan kembali akal sehat, membangun literasi digital, memperkuat pendidikan karakter, dan menciptakan ekonomi yang berkeadilan.
Kebangkitan juga berarti meretas batas-batas sektarian: mengedepankan kolaborasi ketimbang konflik, keberagaman ketimbang homogenitas, dan solidaritas ketimbang individualisme ekstrem. Dalam dunia yang diglobalisasi, kebangkitan nasional juga harus berpikir global namun tetap berakar lokal—seperti filsafat Ubuntu dari Afrika: “Aku adalah karena kita adalah.”
Penutup: Menyalakan Api Kebangkitan Setiap Hari
Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya soal masa lalu. Ia adalah seruan abadi bahwa setiap generasi harus menemukan bentuk kebangkitannya sendiri. Bukan hanya mengenang, tetapi melanjutkan; bukan hanya mengulang, tetapi mencipta. Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang mengenang sejarahnya, tetapi yang melanjutkan semangat sejarah itu dalam kerja nyata, dalam kejujuran, dan dalam keberanian mengambil tanggung jawab sosial.
Sebagaimana yang pernah dikatakan Bung Karno:
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.”
Maka, marilah kita jadikan Hari Kebangkitan Nasional bukan sebagai rutinitas tahunan, tetapi sebagai api yang menyala dalam diri kita setiap hari—mengingatkan bahwa bangsa ini dibangun bukan oleh mereka yang menyerah, tetapi oleh mereka yang memilih untuk bangkit.
Penulis adalah Mohamad Isnaeni, Wakil Pemimpin Redaksi elJabar.com