Akan tetapi, kata Fahmi, seringkali terjadi problem keluarga yang membuat hubungan suami istri, anak dan anggota keluarga menjadi tidak harmonis.
“Sering kali terjadi pertengkaran, perselisihan yang dapat menyebabkan perceraian, KDRT, Salah Asuh, pelecehan dan kekerasan, penganiayaan anak, istri dan masalah lainnya,” katanya.
Fahmi mengatakan, mengutip dari data survey atau hasil penelitian yang didapat dari berbagai lembaga, Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin mengatakan angka perceraian di Indonesia khususnya yang beragama Islam, pada tahun 2019 mencapai 480.618 kasus.
“Angka itu mengalami peningkatan setiap tahun sejak tahun 2015 lalu. Ini berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung. Terinci, pada tahun 2015 terdapat 394.246 kasus, kemudian pada tahun 2016 bertambah menjadi 401.717 kasus, lalu pada tahun 2017 mengalami peningkatan yaitu 415.510 kasus dan tahun 2018 terus alami peningkatan menjadi 444.358 kasus,” jelasnya.
Sementara itu, pada 2020, per Agustus jumlahnya sudah mencapai 306.688 kasus. Kemudian, Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), per 1 Januari hingga 6 November 2020 menunjukkan dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan (5.573 kasus), mayoritas kasusnya adalah KDRT (3.419 kasus atau 60,75 persen).
Kementerian PPPA setidaknya mencatat ada 4.116 kasus kekerasan pada anak pada periode 1 Januari hingga 31 Juli 2020, yang juga terjadi pada saat pandemi Covid-19.
Berdasarkan sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (Simofa PPA) per 1 Januari sampai 31 Juli 2020 ada 3.296 anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki menjadi korban kekerasan.
Dari data-data di atas, kata Fahmi, diperlukan peningkatan ketahanan keluarga yang menjadi penting untuk dilaksanakan dalam rangka mengurangi atau mengatasi berbagai masalah yang menghambat pembangunan nasional.