ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi pertambangan yang tersebar hampir di seluruh kabupaten, baik berupa mineral logam, mineral bukan logam dan batuan.
Hal ini tentunya menarik minat para pelaku usaha dan masyarakat sekitar untuk mengelola dan memanfaatkan hasil bahan galian tambang. Para pelaku usahapun beragam, dari skala kecil, menengah, bahkan menengah keatas pun tertarik untuk melakukan kegiatan pertambangan, dikarenakan bisnis ini sangat menguntungkan.
Kegiatan usaha tambang memang diperlukan dalam menunjang pembangunan fisik serta meningkatkan taraf hidup. Namun demikian, menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jabar, H. Kasan Basari, dalam pelaksanaannya sering menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, seperti terjadi banjir dan longsor.
“Maka ini tentunya akan berakibat dan merugikan, baik materil maupun keselamatan jiwa. Banyaknya kerusakan lahan sebagai dampak eksplorasi oleh pelaku usaha/kegiatan pertambangan khususnya galian C di Jawa Barat, sedikit banyak telah merubah rona lahan yang dulu terjaga kelestariannya,” ujar Kasan Basari, kepada elJabar.com.
Sesuai amanat Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sepertinya sektor pengawasan berupa pembinaan dan sangsi oleh perangkat terkait masih sangat lemah.
Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 35 UU MINERBA “usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk izin usaha pertambangan (IUP). Dalam perijinan tercantum kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan teknik penambangan yang sesuai dan mengelola dampak lingkungan serta melakukan pemulihan lingkungan
Melihat kondisi seperti ini, menurut Kasan Basari, sebaiknya Dinas Lingkungan Hidup beserta Dinas terkait lainnya, perlu juga melakukan pendekatan lain.
“Perlu upaya pendekatan lain, supaya keseimbangan alam tetap terjaga. Seperti mengadakan kegiatan Workshop bagi para pengusaha tambang, atau pendekatan lainnya. Khusus tentang upaya pengendalian dan pemulihan kerusakan lingkungan akibat usaha pertambangan,” jelasnya.
Kegiatan tersebut tentunya melibatkan stake holder terkait dan pelaku usaha pertambangan galian C, yang selama ini selalu dituding sebagai penyebab terjadinya kerusakan lingkungan tanpa adanya usaha untuk mereklamasi kembali menjadi potensi ekonomi lainnya.
Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap ijin dan dokumen lingkungan yang telah dikeluarkan oleh Dinas terkait.
Workshop yang diikuti dari stake holder terkait bersama pelaku usaha tambang galian C tersebut, bisa membuat kesepakatan antara beberapa pihak untuk meminimalisir celah yang ada, dari semua peraturan yang dikeluarkan yang sekiranya berpotensi menimbulkan dampak kerusakan lingkungan bagi pelaku usaha lainnya, lingkungan ataupun masyarakat sekitar.
Workshop ini juga harus menghasilkan data jumlah pelaku usaha pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan, sekaligus melakukan upaya perbaikan dan pengendalian kerusakan lahan di Jawa Barat, untuk meningkatkan Index Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) Provinsi Jawa Barat.
“Selain itu kegiatan tersebut diharapkan akan meningkatkan ketaatan semua pihak dalam mematuhi ijin dan dokumen lingkungan yang telah dikeluarkan,” katanya, penuh harap.
Para pelaku harus dapat mengurangi laju kerusakan lingkungan, utamanya yang disebabkan oleh kegiatan penambangan. sangat diperlukan pemahaman serta perhatian yang serius oleh para pelaku usaha untuk melakukan teknik penambangan yang benar.
Meminimalisasi dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan serta salah satu hal terpenting adalah melakukan reklamasi bekas tambang sesuai dengan fungsi lahan.
“Dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan, serta teknik penambangan yang benar, maka tidak akan terjadi lagi lahan-lahan kritis akibat kegiatan penambangan,” pungkasnya. (muis)