Menanggulangi Kekurangan Anggaran Akibat Pemotongan Transfer Dana Pusat

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Pemerintah Provinsi Jawa Barat menghadapi tantangan serius dalam pelaksanaan program pembangunan tahun 2025. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya pemotongan transfer dana dari pemerintah pusat, baik melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Bagi Hasil (DBH). Kondisi ini membuat ruang fiskal daerah semakin terbatas, sehingga beberapa proyek prioritas terancam tertunda atau harus direalokasi.
Sekretaris Komisi 3 DPRD Jawa Barat, H. Heri Ukasah Sulaeman, S.Pd., M.SI., M.H., menilai bahwa situasi ini menuntut pemerintah provinsi untuk melakukan inovasi fiskal dan penataan prioritas belanja. Menurutnya, Jawa Barat tidak bisa lagi terlalu bergantung pada transfer pusat dan harus memperkuat kemampuan daerah dalam menggali sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara berkelanjutan.
“Kita menghadapi realitas fiskal yang cukup menekan akibat pemotongan transfer dana pusat. Artinya, Pemprov harus benar-benar cermat menata program dan berinovasi dalam pengelolaan keuangan daerah. Kemandirian fiskal bukan lagi pilihan, tapi keharusan,” ujar Heri Ukasah, kepada elJabar.com.
Heri menjelaskan bahwa pemotongan transfer pusat ini bukan sekadar kebijakan sepihak, tetapi bagian dari penyesuaian fiskal nasional. Pemerintah pusat saat ini tengah berupaya menjaga keseimbangan anggaran akibat meningkatnya kebutuhan pembiayaan nasional, subsidi energi, dan proyek infrastruktur strategis nasional.
Namun, dampaknya sangat terasa di daerah seperti Jawa Barat, yang memiliki populasi terbesar di Indonesia dan kebutuhan pembangunan yang tinggi.
Beberapa proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan provinsi, pengelolaan air bersih, serta peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, harus diatur ulang jadwal pelaksanaannya karena keterbatasan kas daerah.
“Ketika transfer pusat menurun, daerah seperti Jawa Barat yang memiliki wilayah luas dan jumlah penduduk besar tentu merasakan tekanan luar biasa. Pembangunan tidak boleh berhenti, tapi kita harus pandai mencari alternatif pembiayaan,” jelasnya.
Dalam menghadapi kondisi ini, Komisi 3 DPRD Jabar bersama Pemerintah Provinsi mendorong optimalisasi sumber PAD, baik dari pajak, retribusi, maupun hasil pengelolaan kekayaan daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Menurut Heri Ukasah, potensi PAD Jawa Barat sebenarnya masih besar, namun belum tergarap secara maksimal. Misalnya, dari sektor pajak kendaraan bermotor, pajak air permukaan, hingga pengelolaan aset produktif milik daerah yang masih banyak belum dimanfaatkan secara optimal.
“Selama ini PAD kita cukup besar, tapi belum sebanding dengan potensi yang ada. Kita perlu digitalisasi sistem pajak daerah, transparansi, dan sinergi lintas instansi agar kebocoran penerimaan bisa ditekan,” katanya.
Selain itu, Heri menyoroti pentingnya reformasi manajerial di tubuh BUMD Jawa Barat. BUMD, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi daerah sekaligus penyumbang pendapatan, kerap menghadapi persoalan kinerja dan tata kelola.
“Kita ingin BUMD tidak sekadar bertahan hidup, tapi mampu memberi kontribusi nyata pada pendapatan daerah. BUMD harus diarahkan menjadi pelaku bisnis strategis di sektor energi, pangan, dan pariwisata,” ujarnya.
Selain peningkatan pendapatan, strategi lain yang ditekankan DPRD adalah pengetatan belanja dan efisiensi program. Heri Ukasah menyebut, dalam situasi keterbatasan fiskal, semua program pemerintah harus dievaluasi berdasarkan skala prioritas dan manfaat langsung bagi masyarakat.
Program yang bersifat seremonial, proyek dengan output tidak jelas, atau kegiatan yang bisa ditunda harus dikaji ulang.
“Setiap rupiah anggaran harus memberikan dampak ekonomi dan sosial yang terukur. Kalau tidak, lebih baik direalokasi untuk sektor-sektor produktif seperti pertanian, UMKM, dan infrastruktur dasar,” tegasnya.
Menurutnya, DPRD bersama Badan Anggaran dan TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) sedang mengkaji ulang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk memastikan efisiensi di seluruh sektor.
“Dewan mendorong pendekatan value for money. Jadi, bukan sekadar besar kecilnya anggaran, tapi seberapa efektif penggunaannya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya. (muis)