Mengakomodir Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan
ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, eljabar.com — Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan sebuah konsep pengelolaan hutan yang berdasarkan kepada kondisi lokal, dengan tetap memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku.
Terdapat berbagai varian skema PHBM seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat dan lain-lain. Meski demikian berbagai skema tersebut mempunyai ciri penting yang sama, yakni PHBM harus didasarkan akses yang legal dan pasti bagi masyarakat terhadap sumberdaya hutan.
Hutan dikelola oleh masyarakat itu sendiri dan masyarakat mengambil keputusan bagaimana mengelola sumberdaya mereka. Selanjutnya konsep PHBM juga mendukung masyarakat untuk memperoleh hak atas sumberdaya yang merupakan bagian penting dalam hidup mereka.
Di luar skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah diakomodir dalam peraturan perundangan di Indonesia, menurut Wakil Ketua Komisi 2 DPRD Jabar, Hery Ukasah, ada banyak bentuk pengelolaan hutan lainnya yang sebenarnya telah dipraktekkan sejak lama oleh beberapa kelompok masyarakat, termasuk juga di dalamnya adalah komunitas masyarakat adat.
“Banyak bentuk pengelolaan hutan lainnya, yang telah dipraktekkan oleh beberapa kelompok masyarakat. Termasuk di dalamnya ada komunitas masyarakat adat,” ujar Hery Ukasah, kepada elJabar.com.
Bentuk-bentuk ini, dengan penamaan yang berbeda pada tiap wilayah adalah merupakan bagian dari sebuah budaya, dan sangat erat hubungannya dengan kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat yang hidup dan tinggal di kawasan sekitar hutan di seluruh wilayah Indonesia.
Walaupun secara legal formal, bentuk-bentuk pengelolaan hutan jenis ini hingga sekarang masih didiskusikan ketersediaan payung hukumnya sebagai bagian penting dalam konteks pengelolaan hutan.
“Sebetulnya pemerintah sudah membuka akses kepada masyarakat lokal, khususnya yang tinggal di dalam atau disekitar kawasan hutan, untuk mengelola dan memanfaatkan wilayah hutannya sendiri, ungkapnya.
Fasilitasi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga fasilitator menjadi penting pada proses awal untuk pengajuan usulan model pengelolaan hutan oleh kelompok masyarakat. Komitmen pemerintah daerah dalam hal pemberdayaan masyarakat, terkait juga dengan kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kota/kabupaten, menurut politisi Fraksi Gerindra DPRD Jabar ini, akan menjadi kunci tercapainya tujuan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Lebih lanjut menurut Hery Ukasah, tantangan dan peluang dalam proses implementasi konsep pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, terletak pada pentingnya proses dan panjangnya proses birokrasi yang harus dilewati, memperhatikan kepastian status lokasi hutan calon areal yang akan dikembangkan.
“Ini belajar dari pengalaman tentang banyaknya terjadi tumpang tindih dan klaim terhadap suatu kawasan hutan. Kejelasan batas terkait kawasan perkebunan, konsensi hutan dan tambang,” ujarnya.
Pola sosialisasi dan pembiayaan khusus mengenai hutan adat, masih belum ada dasar hukum yang mengatur pengelolaan hutan adat. Komitmen untuk pengakuan terhadap kawasan kelola adat, mesti direalisasikan dengan pengaturan payung hukumnya.
“Sehingga perlu membangun sinergi antara pelaksana program pada lembaga-lembaga fasilitator dengan tim yang ada di Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi,” tandasnya.
Selain itu, penting juga untuk mendapatkan perhatian, yakni strategi dalam meningkatkan keterlibatan kelompok perempuan yang masih sangat rendah, padahal kelompok ini memiliki banyak informasi dan terlibat secara langsung dalam pengelolaan hutan di wilayahnya.
Memastikan faktor pendukung dalam pelaksanaannya, dimana ijin yang dikeluarkan untuk skema pengelolaan hutan oleh dan bersama masyarakat, sejalan dengan mitigasi perubahan iklim.
“Yakni kegiatan pengurangan emisi karbon, namun tetap tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Khususnya yang ada disekitar hutan,” pungkasnya. (muis)