Mengelola Wilayah Kelautan Jawa Barat: Strategi Pembangunan dan Perlindungan

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Wilayah kelautan Jawa Barat menyimpan potensi ekonomi dan ekologi yang sangat besar. Dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 755 kilometer yang membentang dari Ujung Kulon di barat hingga Pangandaran di timur, laut Jawa Barat menjadi sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat pesisir.
Namun, kompleksitas pengelolaan wilayah laut ini menuntut perhatian serius dari pemerintah daerah, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya, konservasi lingkungan, dan perlindungan nelayan tradisional.
Wakil Ketua Komisi 2 DPRD Jawa Barat, Lina Ruslinawati, menyoroti pentingnya tata kelola kelautan yang berbasis keberlanjutan dan berpihak pada masyarakat lokal.
“Wilayah kelautan Jawa Barat harus menjadi prioritas dalam pembangunan daerah karena menyangkut pangan, energi, ekonomi, dan lingkungan hidup,” ujar Lina Ruslinawati, kepada elJabar.com.
Lina mengungkapkan bahwa sektor kelautan dan perikanan Jawa Barat menyumbang signifikan terhadap perekonomian daerah, terutama melalui subsektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan industri olahan hasil laut.
Wilayah seperti Pelabuhan Ratu, Cirebon, Indramayu, dan Pangandaran dikenal sebagai sentra-sentra perikanan tangkap dan pengolahan.
Namun, ia menambahkan bahwa eksploitasi potensi laut tanpa perencanaan matang justru bisa berdampak negatif. Oleh karena itu, Lina Ruslinawati mendorong perencanaan zonasi laut yang memperhatikan keseimbangan antara ekonomi dan konservasi.
“Jawa Barat memiliki potensi produksi perikanan tangkap mencapai lebih dari 300 ribu ton per tahun, dan itu belum digarap optimal. Belum lagi potensi rumput laut, garam, hingga pariwisata bahari yang bisa dikembangkan secara berkelanjutan,” jelas Lina.
Salah satu fokus utama Komisi 2 DPRD Jawa Barat, menurut Lina, adalah melindungi nelayan kecil dan tradisional dari berbagai tekanan, termasuk industrialisasi laut dan praktik-praktik perikanan destruktif.
Lina juga menekankan pentingnya pendampingan teknologi dan pelatihan bagi nelayan agar bisa bersaing dengan pelaku usaha besar. Program bantuan alat tangkap ramah lingkungan, pendidikan literasi digital, serta integrasi koperasi nelayan menjadi bagian dari agenda DPRD bersama Dinas Kelautan dan Perikanan.
“Kita tidak bisa membiarkan nelayan tradisional terus terpinggirkan. Mereka ini penjaga laut yang sejati. Maka perlu regulasi dan intervensi kebijakan agar mereka bisa tetap hidup layak, mendapatkan akses bahan bakar, peralatan, hingga pasar yang adil,” katanya.
Selain potensi ekonomi, wilayah kelautan Jawa Barat juga menghadapi berbagai tantangan serius, seperti kerusakan ekosistem pesisir, abrasi pantai, dan praktik illegal fishing yang merugikan negara dan masyarakat.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan, beberapa kawasan pesisir mengalami degradasi akibat penambangan pasir laut, pembuangan limbah industri, serta reklamasi yang tidak terkendali.
“Masalah lingkungan ini sangat mengkhawatirkan. Maka Komisi II mendorong adanya moratorium penambangan pasir laut dan evaluasi menyeluruh terhadap proyek reklamasi. Kita juga harus perkuat pengawasan laut agar praktik illegal fishing bisa ditekan,” jelas Lina.
Kemudian salah satu agenda strategis yang sedang dikawal DPRD adalah penyusunan dan implementasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Dokumen ini menjadi acuan dalam menetapkan peruntukan ruang laut untuk berbagai sektor seperti perikanan, konservasi, pariwisata, dan pelayaran.
“RZWP3K ini penting agar tidak ada tumpang tindih kepentingan. Kita harus punya peta jalan yang jelas dan berbasis kajian ilmiah. Pemerintah pusat dan provinsi harus sinergi,” ujar Lina.
Dalam konteks pembangunan, Lina menyambut baik inisiatif pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah pesisir seperti Cirebon dan Pangandaran. Namun ia mengingatkan bahwa pembangunan KEK harus ramah lingkungan dan inklusif.
Ia mencontohkan program pelestarian terumbu karang di Ujung Genteng dan konservasi penyu di Pangumbahan sebagai contoh sukses kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan LSM.
“Jangan sampai KEK justru merampas ruang hidup masyarakat pesisir. Harus ada AMDAL yang transparan dan evaluasi dampak sosial. Selain itu, ekowisata bahari bisa menjadi alternatif pembangunan yang ramah lingkungan,” pungkasnya. (muis)