Menguatkan Ketahanan Pangan Jawa Barat: Mendorong Sinergi Petani, Teknologi, dan Infrastruktur

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Ketahanan pangan menjadi isu strategis dalam pembangunan daerah Jawa Barat, terlebih di tengah ancaman krisis iklim, urbanisasi masif, dan konversi lahan pertanian produktif.
Menyikapi hal ini, Wakil Ketua Komisi 2 DPRD Jawa Barat, Lina Ruslinawati, menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat tani, dan pelaku industri pangan dalam menjaga ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas pangan bagi 50 juta lebih warga Jabar.
Dijelaskan Lina Ruslinawati, bahwa ketahanan pangan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian semata, melainkan harus melibatkan lintas sektor, termasuk pendidikan, perdagangan, hingga infrastruktur wilayah.
“Jawa Barat ini punya potensi pangan luar biasa. Tapi kalau tidak ada perlindungan terhadap petani dan lahan pertanian, serta tidak didukung teknologi dan distribusi yang baik, maka potensi itu bisa hilang begitu saja,” tegas Lina Ruslinawati, kepada elJabar.com.
Lina menyoroti bahwa meski Jawa Barat dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional, dengan produksi padi, sayur, dan hortikultura yang tinggi, nyatanya masih ada kesenjangan dalam akses pangan, terutama di daerah pinggiran dan urban miskin. Hal ini diperparah dengan cepatnya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan.
Data dari BPS Jawa Barat menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, Jawa Barat kehilangan lebih dari 100 ribu hektar lahan sawah produktif. Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Bogor menjadi daerah yang paling terdampak.
“Bayangkan saja, Karawang yang dulu disebut lumbung padi nasional, sekarang sebagian besar lahannya sudah menjadi kawasan industri. Kalau tidak ada langkah konkret, kita bisa menghadapi krisis pangan yang tidak terasa tapi nyata,” tambah Lina.
Dalam kerangka kebijakan ketahanan pangan Jabar, Lina Ruslinawati menekankan pentingnya memperkuat tiga pilar utama.
Pertama, Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. DPRD Jabar terus mendorong regulasi dan anggaran yang memihak kepada petani kecil, seperti program subsidi benih, pupuk, dan alat pertanian. Lina juga menyoroti pentingnya regenerasi petani.
“Usia petani kita mayoritas di atas 50 tahun. Generasi muda enggan bertani karena tidak melihat masa depan di sana. Maka perlu dukungan teknologi dan jaminan harga hasil tani agar pertanian jadi sektor yang menjanjikan,” ujar Lina.
Kedua, Pemanfaatan Teknologi Pertanian. Menurut Lina, pertanian di Jawa Barat harus mulai bertransformasi ke arah pertanian presisi (precision farming), digitalisasi sistem distribusi, dan penggunaan bibit unggul tahan iklim ekstrem. DPRD Jabar mendorong kerja sama dengan perguruan tinggi, lembaga riset, dan startup agritech untuk meningkatkan produktivitas.
Ketiga, Penguatan Infrastruktur dan Rantai Pasok. Salah satu tantangan ketahanan pangan Jabar adalah rantai pasok yang panjang dan mahal. Akibatnya, harga pangan di kota besar seperti Bandung dan Depok kerap melonjak, meski pasokan cukup di daerah produsen.
“Jalur distribusi pangan harus diperpendek. Kami mendorong pembangunan pasar induk berbasis digital dan logistik dingin (cold chain) agar harga tetap stabil dan petani mendapat margin lebih baik,” kata Lina.
Lina juga mengingatkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan, tapi juga keterjangkauan dan keamanan konsumsi. Masih banyak warga yang mengalami food insecurity karena daya beli rendah, terutama di kawasan padat urban dan pegunungan terpencil.
Program ketahanan pangan harus menyasar rumah tangga rentan dengan kebijakan intervensi gizi, bantuan pangan lokal, dan edukasi konsumsi sehat.
“Kami ingin ketahanan pangan ini tidak hanya dipahami sebagai urusan produksi, tapi juga konsumsi. Edukasi terhadap gizi keluarga, pencegahan stunting, dan gerakan makan pangan lokal juga bagian dari agenda besar kami,” jelasnya.
Meski banyak program ketahanan pangan telah dicanangkan, Lina menilai implementasi di lapangan masih belum maksimal. Salah satu kendala adalah koordinasi lintas dinas yang masih sektoral, serta kurangnya keberpihakan dalam penganggaran.
Ia mengusulkan adanya task force khusus di bawah koordinasi Gubernur atau Wakil Gubernur yang menangani ketahanan pangan secara integratif, dari hulu ke hilir.
“Banyak desa yang punya potensi pangan, tapi tidak memiliki penyuluh pertanian. Ada program pertanian organik tapi tidak ada pasar yang menampung. Kita harus ubah pola pembangunan dari berbasis proyek ke berbasis ekosistem,” kata politisi dari Fraksi Gerindra ini.
Dengan luas wilayah yang beragam, dari pegunungan, dataran tinggi, hingga pesisir, Jawa Barat memiliki semua ekosistem pangan. Jika dikelola dengan baik, provinsi ini bisa menjadi model ketahanan pangan nasional yang bukan hanya swasembada, tapi juga berdaulat secara pangan.
Lina Ruslinawati berharap, ke depan, generasi muda tidak lagi menjauhi sektor pertanian, tapi justru melihatnya sebagai ladang inovasi dan pengabdian. Ia juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali mencintai pangan lokal dan menjaga kedaulatan pangan dari hulu hingga ke meja makan.
“Ketahanan pangan adalah jantung kedaulatan kita sebagai bangsa. Jawa Barat harus berdiri di garis depan untuk menjaganya,” pungkasnya. (muis)