Adikarya ParlemenParlemen

Menyoal Pinjaman Daerah, Pemprov Jabar Harus Selektif dan Produktif

ADHIKARYA PARLEMEN

BANDUNG, elJabar.com – Pinjaman daerah menjadi salah satu instrumen penting dalam pembangunan Jawa Barat, khususnya untuk mempercepat realisasi proyek strategis yang berdampak langsung pada masyarakat.

Namun, penggunaan pinjaman daerah untuk kedepannya tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Anggota Komisi 3 DPRD Jawa Barat, Hj. Tina Wiryawati, menegaskan bahwa ke depan, setiap pinjaman daerah harus dilakukan dengan sikap selektif, terukur, dan produktif, agar tidak menjadi beban fiskal yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi provinsi.

Menurut Tina, pinjaman daerah merupakan langkah yang sah secara regulasi. Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, memang diperbolehkan untuk mengajukan pinjaman kepada lembaga keuangan, termasuk pemerintah pusat. Akan tetapi, pengajuan pinjaman harus mengacu pada prinsip kehati-hatian, memperhatikan kemampuan bayar, serta memastikan proyek yang dibiayai memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

“Pinjaman daerah jangan dipahami sekadar sebagai ruang menambah anggaran. Tetapi harus ditempatkan sebagai instrumen strategis untuk membiayai pembangunan yang produktif. Jangan sampai pinjaman hanya dipakai untuk proyek yang tidak jelas kebermanfaatannya, apalagi berpotensi mangkrak,” ujar Tina Wiryawati, kepada elJabar.com.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) cukup besar di Indonesia. Namun, tingginya kebutuhan pembangunan, mulai dari infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan, hingga penguatan ekonomi rakyat, seringkali membuat ruang fiskal menjadi terbatas.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah provinsi memang telah menempuh opsi pinjaman daerah, salah satunya melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang digulirkan pemerintah pusat saat pandemi COVID-19. Pinjaman ini digunakan untuk membiayai infrastruktur strategis seperti jalan dan jembatan, serta proyek yang mendukung perputaran ekonomi lokal.

Meski demikian, Tina menekankan bahwa pelajaran dari pengalaman sebelumnya harus menjadi bahan evaluasi. Tidak semua proyek hasil pembiayaan pinjaman memberikan dampak cepat bagi masyarakat.

“Ada proyek yang memang berhasil menstimulasi pertumbuhan ekonomi, tapi ada juga yang manfaatnya belum terasa signifikan. Karena itu, ke depan kita harus lebih selektif dalam menentukan proyek mana yang pantas dibiayai dengan pinjaman,” jelasnya.

Menurut Tina, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebelum pemerintah provinsi mengambil keputusan melakukan pinjaman. Pertama, proyek yang dibiayai harus memiliki multiplier effect yang tinggi, artinya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lintas sektor.

Kedua, proyek harus mendukung pelayanan publik secara langsung, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Ketiga, proyek tidak boleh bersifat jangka pendek yang manfaatnya cepat habis, melainkan harus memberi nilai tambah dalam jangka panjang.

“Misalnya, pembangunan jalan akses ke kawasan industri atau sentra produksi pertanian, itu jelas akan mendorong mobilitas barang dan meningkatkan daya saing ekonomi. Berbeda dengan proyek yang hanya sebatas kosmetik atau kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat,” tutur Tina.

Selain selektif, setiap pinjaman daerah harus dipastikan produktif. Artinya, hasil pembangunan dari dana pinjaman harus memberikan manfaat ekonomi yang nyata. Tina menyebutkan, produktivitas pinjaman dapat diukur dari sejauh mana proyek yang dibiayai mampu meningkatkan pendapatan daerah atau mengurangi biaya sosial-ekonomi masyarakat.

Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur jalan tol atau jalur logistik dapat memangkas ongkos distribusi barang. Hal ini akan memperlancar aktivitas perdagangan dan industri di Jawa Barat, yang ujungnya meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah.

“Kita harus bisa mengukur apakah pinjaman yang diambil menghasilkan pertumbuhan ekonomi baru atau tidak. Kalau hanya menambah beban tanpa memberi tambahan pemasukan, maka itu bukan pinjaman produktif,” kata Tina.

Tina juga mengingatkan bahwa setiap pinjaman daerah otomatis menambah beban pembayaran bunga dan pokok di tahun-tahun berikutnya. Jika tidak dikelola dengan bijak, pinjaman bisa menggerus ruang fiskal APBD.

Oleh karena itu, DPRD Jawa Barat menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengajuan pinjaman daerah. Setiap rencana pinjaman harus dibahas secara terbuka bersama legislatif, disertai analisis risiko dan simulasi kemampuan bayar.

“Kita tidak anti terhadap pinjaman daerah. Tapi kita harus realistis, jangan sampai APBD habis hanya untuk bayar cicilan pinjaman. Prinsip kehati-hatian harus dipegang,” tegasnya.

Ke depan, Jawa Barat diprediksi akan menghadapi tantangan pembangunan yang semakin kompleks. Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi, serta kebutuhan infrastruktur dasar akan terus meningkat. Dalam kondisi seperti ini, pinjaman daerah bisa menjadi salah satu solusi untuk menutup kesenjangan anggaran.

Namun, Tina menekankan kembali bahwa strategi pinjaman tidak boleh dijalankan secara serampangan. Pemprov harus memiliki roadmap jelas terkait proyek prioritas yang memang layak dibiayai melalui skema pinjaman.

“Selain itu, pemanfaatan pinjaman daerah harus bersinergi dengan program nasional dan pembiayaan alternatif lain, seperti kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) atau skema investasi swasta. Dengan demikian, beban pinjaman tidak seluruhnya ditanggung APBD,” paparnya.

Pinjaman daerah bagi Jawa Barat merupakan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, pinjaman bisa mempercepat realisasi pembangunan. Namun di sisi lain, risiko beban fiskal mengintai jika pinjaman tidak dikelola secara hati-hati.

“Dengan prinsip kehati-hatian dan pengawasan ketat, seandainya pinjaman daerah dilakukan kembali, diharapkan bisa menjadi motor penggerak pembangunan Jawa Barat ke depan, bukan sekadar beban keuangan yang membelit APBD,” pungkasnya. (muis)

Show More
Back to top button