Nunggak Kewajiban, FK3I Minta Pidanakan PT Semen Indonesia Atas Kejahatan Hutan
BANDUNG, elJabar.com — Terkait aktivitas perusahaan skala nasional yang melakukan penambangan batu gamping untuk kebutuhan bahan baku semen, mengakibatkan rusaknya ratusan hektar kawasan hutan di wilayah pulau Jawa.
Aktivis Lingkungan yang juga Ketua Dewan Daerah WALHI Jawa Barat, Dedi Kurniawan, merasa geram dengan sikap perusahaan nasional yang tidak melakukan kewajibannya dalam aktivitas penambangan.
Menurut Dedi Kurniawan, PT. Semen Indonesia saat ini belum memenuhi kewajiban penggantian hutan seluas 639,15 Ha. Begitu juga PLN Cisokan seluas 2.532,7209 Ha dikali dua kawasan hutan yang menjadi kewajiban PLN akibat perusakan hutan, untuk kepentingan non-kehutanan yang harus diganti hutan kembali.
“Jika penggantian itu terlaksana dan diimplementasikan menjadi pengganti hutan, minimal in out soal hutan masih diumungkinkan seimbang di angka yang minim, sekitar 30% tiap Provinsi,” ujar Dedi Kurniawan, kepada elJabar.com, Kamis (29/09/2022).
Perusahaan berskala Nasional maupun Internasional apabila melakukan proses kerjasama dalam hutan untuk kegiatan non-kehutanan, perlu diberi ketegasan. Piutang KLHK baik dari PNBP, IPPKH, kebakaran hutan ataupun pencemaran dari pihak terkait, menurut Dedi Kurniawan, harus diberi sanksi tegas. Baik melalui sanksi administratif pencabutan ijin, sanksi pidana sesuai aturan yang berlaku atau sanksi sosial dengan cara mem publish terhadap masyarakat luas dan dunia akan wanprestasi yang dilakukan oleh pemegang kewajiban.
“Agar seluruh masyarakat mengetahui indikasi jahat perusahaan, selain PNBP kehutanan dan kewajiban atau komitmen perusahaan yang sangat terlunta-lunta dan seakan diabaikan oleh perusahaan-perusahaan besar. Baik BUMN ataupun perusahaan swasta yang sudah go public. Mereka masih berlunggak-lenggok di lantai Bursa Efek Indonesia (BEI), seakan tidak peduli dengan kewajiban. Kalau perlu, dengan sanksi pidana,” tegas Dedi Kurniawan, yang juga merupakan pegiat Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I), merasa geram.
Dedi Kurniawan meminta ketegasan KLHK untuk menutup perusahaan tersebut, salah satunya PT. Semen Indonesia (SMGR). Karena menurutnya, mereka telah melakukan proses perusakan kawasan hutan. Namun abai akan kewajiban, mengganti membangun hutan dua kali lipat jika di Pulau Jawa.
Dalam kasus seperti ini sangat banyak perusahaan yang melakukan perpanjangan waktu dan meminta kemudahan-kemudahan lainnya. Menurut Dedi Kurniawan, ini tidak sepantasnya KLHK memberi toleransi terhadap hal itu. Hutan sudah rusak bahkan nyaris hilang, jika perusahaan selalu diberi toleransi dan kemudahan.
“Kami sangat marah dan kecewa jika sampai saat ini mereka meminta waktu untuk melakukan kewajiban, sementara proses perusakan telah dilakukan. Banyak perusahaan besar yang mangkir dari kewajiban,” ungkapnya.
Tak peduli politik apa di belakangnya, Dedi Kurniawan meminta semua diusut tuntas. Selain PT Semen Indonesia, menurutnya ada Juga PT. RNI, PLN dan banyak perusahaan yang telah mangkir terhadap kewajiban hutan ganti hutan.
“Usut secara tuntas. Karena bertahun-tahun kewajiban tidak dipenuhi dengan berbagai modus untuk menunda-nunda kewajiban. Dan itu bisa dikategorikan wanprestasi dan adanya kerugian negara, yang seharusnya KPK dan Kejaksaan segera turun tangan dan mengambil tindakan hukum. Malah PT RNI itu sudah berganti beberapa presiden, belum juga selesai,” tandasnya.
Pembiaran ini menurut Dedi Kurniawan, akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan hutan. Mengutip istilah Menteri KLHK yang bicara In Out. Out terus berlangsung, namun In-nya menurut Dedi, banyak yang tertunda.
Maka sangat wajar berlomba dengan bencana ekologi yang terus terjadi. Dedi Kurniawan memandang perlu, kalau PT. Semen Indonesia (SMGR) untuk dilakukan due diligence atas kewajiban IPPKH di tahun 2012 yang sudah mendapat persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan. Juga sudah mendapat keringanan perpanjangan waktu sesuai dengan ketentuan.
“Dan sudah pula mendapat semacam teguran untuk segera memenuhi kewajibannya dari KLHK, akan tetapi belum memenuhi kewajiban dan komitmennya kepada KLHK sampai sekarang,” ujarnya.
Ini sebuah wanprestasi dari perusahaan, sebab perjanjian sudah disepakati dan berlaku efektif. Sebenarnya menurut Dedi Kurniawan, tidak perlu berlarut-larut untuk penuhi kewajiban. Dengan tidak dipenuhinya perjanjian, itu bisa dipersoalkan dan masyarakat bisa meminta KPK atau Kejaksaan seperti halnya kasus Duta Palma yang ada unsur kerugian negara disana.
Dilihat dari posisi perusahaan untung bisa bagi deviden, tapi mereka seakan enggan memenuhi kewajibannya. Kerugian Negara secara administratif mungkin sudah bisa dibaca di regulasi yang ada di KLHK, dan kerugian lain yang dipandang sangat penting dan bernilai tinggi adalah rusak dan hilangnya hutan.
Rusak dan hilangnya hutan ini berakibat pada hilangnya sebuah kawasan, dari mulai pohon dan isinya. Dan akibat dari itu kerusakan mengakibatkan keseimbangan kawasan menjadi timpang dan merugikan masyarakat dunia yang bergantung terhadap kelestarian sumber alam Indonesia.
“Ini penting kami ungkapkan, karena berkali-kali perusahaan besar ini mendapat toleransi dari KLHK. Politik apa yang terjadi, jika tangan kanan negara tutup mata terhadap perusahaan besar dengan perusakan ratusan hektar. Dan tangan kiri mempidanakan 7 petani di Langkat Sumatera, soal indikasi pencurian sawit di hutan yang diberi ijin pada sang pengambil buah sawit,” bebernya.
Kepercayaan masyarakat terhadap APH dan KLHK masih bisa diperbaiki, jika para perusahaan yang berindikasi jahat dan merugikan Negara segera dituntaskan melalui ranah hukum litigasi atau non litigasi.
Kewajiban dan komitmen ini harus segera diselesaikan PT Semen Indonesia (SMGR), karena perjanjian itu menurut Dedi Kurniawan, mengikat secara hukum. Dan apabila ada perubahan perjanjian harus ada unsur sangat kuat yang dapat merubahnya.
“Sekarang ini tidak ada alasan urgent untuk perubahannya, seperti PLN mau merubah kesepakatan pembayaran dengan listrik swasta dan itu ditolak sama Luhut. Karena itu hal yang sudah disepakati dan dalam surat PT Semen Indonesia (SMGR) sudah mengajukan lahannya pengganti. Akan tetapi belum diserahkan ke KLHK,” ungkapnya. “Kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melaporkan hal ini ke masyarakat dunia secara umum, agar menjadi perhatian serius,” pungkasnya. (muis)