Optimalkan Pajak Air Perusahaan di Jawa Barat: Dorong Digitalisasi Metering dan Penertiban Izin

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat mendorong langkah terukur untuk mengoptimalkan penerimaan Pajak Air dari sektor perusahaan.
Anggota Komisi 3 DPRD Jawa Barat, Hj. Tina Wiryawati, menilai pembenahan tata kelola—mulai dari pendataan wajib pajak, akurasi pengukuran pemakaian, hingga penegakan hukum—menjadi kunci agar potensi penerimaan tidak bocor dan tetap selaras dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.
“Selama ini problem utamanya ada pada data dan pengukuran. Kita butuh single source of truth tentang siapa yang menggunakan air permukaan, berapa volume yang diambil, dan bagaimana kepatuhan pembayarannya. Tanpa itu, optimasi hanya jargon,” ujar Tina Wiryawati, kepada elJabar.com.
Tina menjelaskan, pajak air yang menjadi kewenangan provinsi merujuk pada pemanfaatan air permukaan oleh badan usaha—misalnya industri, pembangkit, dan perkebunan—sementara air tanah menjadi kewenangan kabupaten/kota.
“Kita harus mencegah shifting dari air permukaan ke air tanah yang izinnya berbeda. Sinergi provinsi dengan kabupaten/kota penting supaya instrumen pajak tidak saling melemahkan,” ucapnya.
Menurutnya, perusahaan cenderung memilih sumber air yang proses perizinan dan tarifnya paling menguntungkan. Maka, koordinasi tarif dan pengawasan lintas kewenangan perlu diperkuat.
“Prinsipnya bukan mematikan usaha, melainkan menutup celah free rider agar adil bagi semua pelaku,” tambah Tina.
Komisi 3 mendorong pemanfaatan teknologi smart metering dan telemetry pada titik pengambilan air (intake) perusahaan untuk memastikan perhitungan pajak akurat dan transparan.
“Kita ingin ada dashboard real-time yang menampilkan volume pengambilan harian, status izin, hingga histori pembayaran. Data ini harus terintegrasi dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Dinas Sumber Daya Air, dan penegak perda,” kata Tina.
Tina menilai pembaruan basis data wajib pajak perlu dilakukan secara menyeluruh, termasuk pemetaan sektor-sektor berisiko tinggi seperti industri pengolahan, perkebunan besar, dan pertambangan tertentu.
“Kita dorong profiling risiko. Wajib pajak berisiko tinggi—misalnya yang pemakaian airnya fluktuatif besar atau historisnya menunggak—mendapat pengawasan lebih intensif. Sementara yang patuh diberi incentive kemudahan layanan,” katanya.
Komisi 3 juga mendorong audit tematik bersama Inspektorat dan melibatkan pihak ketiga independen untuk validasi data teknis.
“Audit bukan untuk menghukum, tetapi untuk memastikan level playing field. Yang patuh jangan dirugikan oleh yang main-main,” tegas Tina.
Terkait formula pengenaan pajak, Tina menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara penerimaan daerah dan keberlanjutan lingkungan. Perlu mendorong juga struktur tarif yang progresif untuk konsumsi di atas ambang batas tertentu, terutama pada daerah yang indeks kelangkaan air-nya tinggi.
“Di sisi lain, perusahaan yang berinvestasi pada efisiensi air—seperti water recycling atau zero liquid discharge—bisa mendapat pengurangan tertentu sesuai ketentuan,” jelasnya. Skema demikian akan mendorong inovasi efisiensi tanpa memukul dunia usaha. “Pesan kita jelas: hemat air, hemat pajak. Boros air, kontribusinya harus lebih besar untuk biaya lingkungan,” tambahnya.
Tina mendesak percepatan penertiban izin pengambilan air agar tidak ada lagi perusahaan yang beroperasi dengan izin kedaluwarsa atau tidak sesuai kapasitas aktual.
Ada kasus izin yang tidak diperbarui bertahun-tahun, sementara kapasitas produksi meningkat. Itu membuat basis pengenaan pajak tidak relevan.
“Kita minta Dinas teknis mempercepat clean-up perizinan dan menindak intake ilegal,” ujar Tina.
Ia menegaskan perlunya sanksi berjenjang: teguran, denda administrasi, hingga penghentian sementara aktivitas pengambilan air bagi pelanggar berat.
“Kepastian hukum itu penting. Kalau aturan ditegakkan konsisten, tingkat kepatuhan naik dengan sendirinya,” pungkasnya. (muis)







