Kronik

Otonomi Daerah dan Lahirnya “Raja-Raja Kecil”: Ironi Demokrasi yang Menghambat Pembangunan Nasional

OTONOMI daerah di Indonesia lahir dari semangat reformasi 1998 yang ingin mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat dan memperkuat peran daerah dalam pembangunan. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (yang kemudian diperbarui menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014), pemerintah memberikan kewenangan besar kepada daerah untuk mengatur urusan sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun, di balik niat baik itu, otonomi daerah juga melahirkan sebuah ironi: munculnya “raja-raja kecil” di tingkat lokal, yakni bupati dan walikota yang seringkali menjalankan pemerintahan secara ego sektoral, tidak sinkron dengan kebijakan pusat, dan menjadikan kepentingan politik lebih utama ketimbang kepentingan rakyat. Hal ini menjadi penghambat nyata dalam pembangunan nasional, terutama saat kebijakan strategis dari pemerintah pusat atau provinsi harus terganjal oleh ego sektoral dan politik lokal.

Fenomena Raja-Raja Kecil di Daerah

Istilah “raja kecil” mengacu pada perilaku kepala daerah yang bertindak seolah memiliki kekuasaan absolut di wilayahnya. Mereka kerap mengambil keputusan sepihak, tidak mau tunduk pada koordinasi dengan pemerintah provinsi atau pusat, dan lebih sibuk menjaga basis dukungan politik ketimbang menjalankan amanat pembangunan.

Fenomena ini kian mencolok ketika kepala daerah berasal dari partai politik yang berbeda dengan pemerintah pusat atau gubernur provinsi. Bukannya membangun sinergi, mereka justru menciptakan rivalitas politik yang merugikan rakyat. Bahkan, tak jarang program-program pembangunan nasional yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat justru dihambat, dipolitisasi, atau diabaikan hanya karena faktor perbedaan warna partai.

Dampak Negatif terhadap Pembangunan

Ketika bupati atau walikota berjalan sendiri tanpa sinkronisasi dengan pemerintah pusat atau provinsi, maka yang terjadi adalah fragmentasi kebijakan. Misalnya, pemerintah pusat meluncurkan program ketahanan pangan berbasis teknologi, namun kepala daerah tidak mau mengalokasikan anggaran pendampingan karena merasa itu bukan prioritas politiknya. Akibatnya, program gagal, rakyat tidak merasakan manfaatnya, dan anggaran menjadi sia-sia.

Kepala daerah yang merasa paling berkuasa di wilayahnya seringkali memberlakukan aturan-aturan lokal yang bertentangan dengan kebijakan pusat atau provinsi. Investasi terhambat karena pelaku usaha bingung menghadapi tumpang tindih regulasi. Banyak investor akhirnya menarik diri karena merasa tidak ada kepastian hukum. Hal ini tentu berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

DPRD yang didominasi oleh partai pendukung kepala daerah seringkali mengesahkan APBD berdasarkan kepentingan politik, bukan kebutuhan rakyat. Proyek-proyek strategis nasional seperti pembangunan jalan, irigasi, atau infrastruktur digital malah tidak dimasukkan dalam prioritas. Alih-alih membangun, kepala daerah justru mengarahkan dana ke program-program populis yang lebih banyak bersifat pencitraan.

Kepala daerah yang merasa “berkuasa penuh” di wilayahnya kerap tidak mau diawasi. Dalam banyak kasus, ini membuka celah besar terhadap korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Data dari KPK menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, ratusan kepala daerah terjerat kasus korupsi. Ini adalah indikasi jelas bahwa otonomi yang terlalu longgar tanpa kontrol efektif membuka ruang bagi lahirnya kekuasaan yang mengedepankan ego sektoral di tingkat lokal.

Perbedaan Arah Politik dan Dampaknya terhadap Rakyat

Konflik antar level pemerintahan akibat perbedaan partai politik bukan sekadar soal elit, tetapi membawa dampak langsung terhadap rakyat. Misalnya, ketika pemerintah pusat menetapkan proyek strategis nasional (PSN) di suatu daerah, tetapi kepala daerah setempat menghambat dengan alasan tidak dilibatkan sejak awal atau karena ingin menegosiasikan proyek dengan timnya sendiri. Rakyat menjadi korban karena akses terhadap layanan atau infrastruktur menjadi tertunda bahkan gagal.

Dalam bidang pendidikan, banyak kebijakan seperti program digitalisasi sekolah atau beasiswa nasional yang mandek di level implementasi karena kepala daerah tidak menyediakan dukungan administratif atau anggaran. Demikian pula dalam sektor kesehatan, program vaksinasi atau pembangunan puskesmas bisa terhambat karena konflik politik.

Mengapa Ini Terjadi?

Meskipun Indonesia telah melakukan desentralisasi selama lebih dari dua dekade, namun masih banyak kekaburan dalam pembagian kewenangan antar pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ketidaktegasan ini memberikan celah bagi kepala daerah untuk menafsirkan kewenangan secara semena-mena.

Banyak kepala daerah tidak muncul dari proses meritokrasi, tetapi karena dukungan elit politik pusat atau oligarki lokal. Setelah terpilih, mereka merasa harus membalas budi atau menjaga loyalitas politik, bukan menjalankan program berdasarkan kebutuhan rakyat. Ini menciptakan sistem pemerintahan lokal yang tidak independen dan rentan terhadap manipulasi.

Pemerintah pusat maupun provinsi belum memiliki mekanisme koordinasi dan pengawasan yang efektif terhadap kepala daerah. Banyak kasus di mana kepala daerah menolak mengikuti arahan gubernur atau kementerian, tetapi tidak ada sanksi tegas. Akibatnya, ego politik kepala daerah semakin kuat.

Solusi dan Rekomendasi

Pemerintah perlu meninjau ulang sistem otonomi daerah. Bukan dengan mencabut otonomi, tetapi memperjelas batasan kewenangan dan memperkuat sistem koordinasi vertikal. UU Pemerintahan Daerah harus direvisi agar sinkronisasi menjadi kewajiban dan bukan pilihan politik.

Dalam banyak kasus, gubernur tidak memiliki daya paksa terhadap kepala daerah di bawahnya. Fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus diperkuat agar bisa melakukan supervisi terhadap program nasional di tingkat kabupaten/kota.

Kepala daerah yang tidak menjalankan kebijakan strategis nasional harus diberikan sanksi administratif hingga pencopotan jabatan jika perlu. Pemerintah pusat harus berani menggunakan kewenangannya dalam hal ini.

Masyarakat perlu diedukasi agar tidak memilih kepala daerah berdasarkan popularitas semata, tetapi berdasarkan rekam jejak dan integritas. Sementara itu, partai politik juga harus melakukan rekrutmen calon kepala daerah dengan sistem merit, bukan semata loyalitas politik.

Dengan sistem anggaran yang terbuka dan dapat diakses publik, maka rakyat dapat ikut mengawasi proyek pembangunan. Hal ini juga mencegah kepala daerah menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan politik jangka pendek.

Penutup

Otonomi daerah adalah pilar penting dalam demokrasi Indonesia. Namun, ketika otonomi ini disalahgunakan oleh kepala daerah yang merasa menjadi “raja kecil”, maka rakyatlah yang menjadi korban. Perbedaan partai politik seharusnya tidak menjadi alasan untuk menghambat program-program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat. Sudah saatnya pemerintah pusat, provinsi, dan daerah membangun sinergi yang sehat, bukan rivalitas yang destruktif.

Keberhasilan pembangunan nasional tidak mungkin tercapai tanpa kerja sama yang solid antar seluruh level pemerintahan. Jika ego politik terus dibiarkan mengalahkan kepentingan rakyat, maka cita-cita Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi slogan kosong. Otonomi daerah harus tetap dalam bingkai NKRI, bukan sebagai jalan menuju fragmentasi kekuasaan yang merugikan rakyat. ***

Penulis adalah Mohamad Isnaeni, Wakil Pemimpin Redaksi elJabar.com

Show More
Back to top button