Pemberdayaan dan Pengembangan BUMD Jawa Barat Belum Maksimal

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Jawa Barat sejatinya memiliki potensi besar sebagai penggerak ekonomi daerah dan sumber peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun, menurut Sekretaris Komisi 3 DPRD Jawa Barat, H. Heri Ukasah Sulaeman, S.Pd., M.SI., M.H., hingga saat ini pemberdayaan dan pengembangan BUMD di Jawa Barat belum berjalan maksimal. Banyak BUMD yang belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap kas daerah, baik karena lemahnya tata kelola, minimnya inovasi bisnis, maupun belum sinerginya kebijakan antarlevel pemerintahan.
Heri Ukasah menjelaskan, secara umum BUMD di Jawa Barat dibentuk untuk melaksanakan fungsi strategis: mulai dari pengelolaan air minum, keuangan daerah, energi, hingga sektor jasa dan perdagangan. Namun, dari sejumlah BUMD yang dimiliki Pemerintah Provinsi Jawa Barat, hanya sebagian kecil yang mampu menghasilkan keuntungan dan memberikan dividen rutin kepada daerah.
“Dari data yang kami himpun, masih banyak BUMD yang belum bisa memberikan sumbangan signifikan bagi PAD Jawa Barat. Bahkan, ada yang masih bergantung pada penyertaan modal pemerintah daerah untuk sekadar bertahan hidup,” ujar Heri Ukasah, kepada elJabar.com.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa tata kelola dan strategi bisnis BUMD perlu mendapat perhatian serius. Ia menilai, sebagian BUMD belum dikelola dengan prinsip profesionalisme dan efisiensi sebagaimana entitas bisnis modern. Padahal, tantangan ekonomi daerah saat ini menuntut BUMD untuk adaptif dan inovatif.
Lebih jauh, Heri Ukasah menyoroti adanya masalah struktural dan manajerial di tubuh BUMD. Ia menyebut, beberapa BUMD masih mengalami “ketergantungan birokratis”, di mana proses bisnis terlalu terikat pada mekanisme administratif, bukan orientasi kinerja.
“BUMD seharusnya punya fleksibilitas seperti perusahaan swasta dalam bergerak cepat dan mengambil peluang bisnis. Tapi faktanya, banyak yang masih tersandera oleh proses birokrasi, bahkan penempatan direksi dan komisaris yang kadang tidak berdasarkan kompetensi bisnis,” tegasnya.
Ia menambahkan, beberapa posisi strategis di BUMD kerap diisi oleh figur yang berlatar belakang politik atau nonprofesional, sehingga arah perusahaan menjadi tidak fokus pada efisiensi dan profitabilitas.
“Ini persoalan klasik, tapi kalau tidak dibenahi, BUMD tidak akan pernah tumbuh sehat,” lanjutnya.
Sebagai bagian dari fungsi pengawasan, Komisi 3 DPRD Jawa Barat menurut Heri telah mendorong Pemerintah Provinsi untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja seluruh BUMD. Evaluasi itu tidak hanya menyentuh aspek keuangan, tetapi juga model bisnis, tata kelola, dan kontribusi sosial ekonomi.
“Kami mendukung langkah Pemprov untuk menilai satu per satu BUMD. Jika ada yang terus merugi tanpa prospek yang jelas, harus ada tindakan tegas. Bisa berupa restrukturisasi, merger, bahkan likuidasi bila memang sudah tidak relevan dengan kebutuhan daerah,” jelasnya.
Menurut Heri, kebijakan evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah penyertaan modal daerah benar-benar menghasilkan manfaat bagi masyarakat dan bukan sekadar menjadi beban APBD.
“Kita bicara akuntabilitas publik. Dana daerah tidak boleh terserap untuk hal yang tidak produktif,” katanya.
Selain evaluasi internal, Heri Ukasah juga menekankan pentingnya sinergi BUMD dengan dunia usaha, baik swasta maupun BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Ia berpendapat, BUMD harus menjadi jembatan antara potensi ekonomi lokal dan kebutuhan pasar yang lebih luas.
“BUMD tidak bisa berjalan sendiri. Mereka harus berkolaborasi dengan BUMDes, koperasi, maupun sektor swasta agar rantai ekonomi daerah terbentuk kuat. Misalnya dalam sektor pangan, air bersih, energi, maupun jasa keuangan mikro,” ujar politisi asal Partai Gerindra itu.
Ia mencontohkan, BUMD seperti Bank BJB dan PT Migas Hulu Jabar (MUJ) merupakan contoh entitas yang relatif berhasil karena berani berinovasi dan menjaga profesionalitas.
“Kuncinya ada pada keberanian melakukan diversifikasi usaha dan menerapkan tata kelola korporasi yang sehat,” ujarnya.
Menurut Heri, BUMD di sektor lain seperti perdagangan, pariwisata, maupun logistik juga bisa berkembang pesat jika diberikan ruang inovasi.
“Jangan hanya bergantung pada proyek pemerintah. BUMD harus bisa membaca tren pasar dan memanfaatkan potensi digitalisasi ekonomi,” tambahnya.
Heri Ukasah juga menyinggung soal regulasi dan dukungan pemerintah daerah. Ia menilai bahwa kebijakan daerah terkadang belum cukup memberi ruang gerak luas bagi BUMD untuk berkembang. Proses persetujuan investasi, misalnya, masih dianggap terlalu panjang dan kurang adaptif terhadap dinamika pasar.
“Kalau kita ingin BUMD maju, maka aturan mainnya juga harus mendukung. Pemerintah daerah harus memperlancar mekanisme bisnis mereka, tentu tetap dalam koridor transparansi dan akuntabilitas,” ucapnya.
Ia menilai bahwa visi Gubernur Jawa Barat untuk menjadikan BUMD sebagai motor PAD sejalan dengan agenda pembangunan ekonomi daerah, namun tanpa implementasi yang konsisten, hal tersebut sulit tercapai.
“Komitmen pemerintah sangat dibutuhkan, terutama dalam penataan regulasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di BUMD,” tegasnya.
Pemberdayaan dan pengembangan BUMD di Jawa Barat masih jauh dari optimal. Meski memiliki potensi besar, banyak BUMD belum menunjukkan performa signifikan akibat lemahnya tata kelola, kurangnya inovasi, dan intervensi nonprofesional. Komisi 3 DPRD Jawa Barat kini mendorong langkah-langkah konkret berupa evaluasi menyeluruh, reformasi manajerial, serta kolaborasi strategis antar-pelaku ekonomi daerah.
“Harapannya, BUMD Jawa Barat dapat bertransformasi menjadi entitas bisnis yang mandiri, kompetitif, dan berkontribusi besar terhadap kesejahteraan masyarakat Jawa Barat,” pungkasnya. (muis)