Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Rakyat di Jawa Barat Masih Terkendala

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Kebutuhan akan hunian yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Jawa Barat terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang semakin pesat.
Meski sejumlah program telah dicanangkan oleh pemerintah pusat dan daerah, namun menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, Daddy Rohanadi, pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat masih menemui banyak kendala.
Menurut Daddy, persoalan backlog perumahan di Jawa Barat menjadi semakin kompleks di tahun 2025. Ia menyoroti ketimpangan antara pertumbuhan kebutuhan rumah dengan kemampuan penyediaan rumah oleh pemerintah dan sektor swasta.
“Saat ini backlog perumahan di Jawa Barat sudah menyentuh angka lebih dari 2 juta unit. Ini artinya, ada jutaan keluarga yang belum memiliki rumah yang layak huni. Pemerintah memang sudah memiliki program seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), tetapi implementasinya di lapangan masih belum optimal,” ungkap Daddy Rohanadi, kepada elJabar.com.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa masalah utama tidak hanya pada aspek pendanaan, tetapi juga pada ketersediaan lahan yang terbatas, terutama di daerah perkotaan seperti Bandung Raya, Bekasi, dan Bogor. Harga tanah yang terus melonjak membuat pembangunan rumah subsidi menjadi tidak menarik bagi pengembang.
“Pengembang lebih memilih membangun rumah komersial yang lebih menguntungkan. Akibatnya, rumah untuk MBR terbengkalai atau dibangun jauh dari pusat kegiatan ekonomi, yang justru menyulitkan masyarakat,” tambahnya.
Daddy juga menyoroti lemahnya sinergi antara pemerintah daerah, kementerian terkait, dan sektor swasta. Ia menilai bahwa koordinasi yang belum optimal menyebabkan lambannya penyusunan kebijakan terpadu dalam penyediaan hunian rakyat.
“Regulasi kita terlalu banyak, tapi implementasinya sering saling tumpang tindih. Harus ada satu payung kebijakan yang kuat dan mengikat lintas sektor. Pemerintah provinsi bisa ambil peran lebih besar dalam mengoordinasikan ini,” tegasnya.
Program rumah subsidi yang diluncurkan pemerintah, lanjut Daddy, juga harus didukung oleh infrastruktur dasar yang memadai seperti akses jalan, air bersih, dan transportasi umum. Tanpa itu semua, masyarakat justru enggan untuk menempati rumah subsidi yang disediakan.
Sebagai solusi jangka pendek, Daddy mendorong pemerintah daerah untuk mempermudah perizinan dan memberikan insentif kepada pengembang yang bersedia membangun rumah bagi MBR. Selain itu, ia juga mengusulkan skema pembiayaan alternatif berbasis komunitas dan koperasi.
“Kita bisa belajar dari beberapa model di negara lain, di mana pembangunan perumahan rakyat dilakukan melalui kemitraan multi-pihak. Kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas,” ujar Daddy.
Untuk jangka panjang, ia berharap adanya perencanaan tata ruang yang lebih berpihak pada rakyat kecil, dengan memastikan alokasi lahan untuk rumah rakyat dalam setiap pengembangan wilayah.
“Kalau tidak dimulai dari sekarang, angka backlog akan semakin sulit ditekan. Rumah bukan hanya kebutuhan, tapi hak dasar manusia,” pungkas Daddy.
Dengan tantangan yang semakin besar, keberhasilan pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat di Jawa Barat memerlukan upaya kolektif dari berbagai pihak. Perlu ada kebijakan yang berpihak, tata kelola yang baik, serta komitmen nyata dari semua stakeholder. (muis)