Pendidikan Gratis Masih Sebatas Gembar-Gembor Belaka, Biaya Pendidikan Masih Jadi Problem Serius
ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Sejak lama polemik seputar uang sumbangan sekolah SMA negeri di Jawa Barat sudah menjadi problem serius ditengah masyarakat. Tidak sedikit orang tua yang mengeluhkan uang sumbangan ini, pasalnya nominal yang harus dibayarkan terbilang begitu besar. Dan sepertinya sudah menjadi keharusan ditengah gembar gembornya semboyan sekolah gratis yang digaungkan oleh pemerintah.
Seperti yang terjadi di Kota Bandung misalnya, sejumlah orang tua pernah curhat telah mendapat perlakuan tidak mengenakan dari komite sekolah, saat diminta membayar uang sumbangan. Bahkan merasa dipermalukan,saat mencoba mempertanyakan transparansi penggunaan uang sumbangan sekolah itu sendiri.
Sumbangan yang harus dibayar besarannya mulai dari kisaran Rp 3 juta s/d Rp 4 juta, Rp 4,1 juta s/d Rp 5 juta dan bahkan lebih dari Rp 5 juta. Yang mereka permasalahkan kemudian, uang sumbangan ini wajib dibayar dengan menandatangani kesediaan pembayaran sumbangan ke sekolah.
Begitu juga dengan di Cimahi, orangtua diminta memberikan sumbangan berupa uang dengan nominal yang sudah ditentukan. Dalam surat itu tertera nominal disepakati berdasarkan hasil musyawarah antara komite sekolah dengan orang tua siswa. Nominal sumbangannya mulai dari Rp 6 juta sebagai nominal paling rendah dan Rp 10 juta sebagai nominal tertinggi.
Anggota Komisi 5 DPRD Jabar Heri Ukasah menilai, praktek tersebut tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Oleh karena itu Heri Ukasah mendorong Disdik Jabar untuk menegur sekolah-sekolah dibawah kewenangan provinsi yang masih membahas tentang uang sumbangan.
“Ini masih belum sejalan dengan slogan dan upaya pendidikan gratis. Disdik harus menegur praktek ini. Disdik harus memberikan pemahaman kembali atas peran komite, sehingga tidak menimbulkan persoalan,” ujar Heri Ukasah, kepada elJabar.com.
Menurut Heri Ukasah, polemik ini terus berlanjut pada setiap tahunnya, dikarenakan dana pendidikan di Jawa Barat masih belum cukup untuk memenuhi operasional di setiap sekolah. Dengan jumlah total 852 sekolah negeri di bawah kewenangan Pemprov Jabar, dana pendidikan yang ada masih belum mencukupi untuk kebutuhan pendidikan.
Bila mengutip hasil perhitungan dari Dewan Pendidikan Jabar yang menyebut biaya operasional sekolah, membutuhkan anggaran setara Rp 6 juta untuk satu anak per tahunnya. Jika dibandingkan dengan anggaran yang ada, perhitungan nominalnya BOPD itu hanya cukup untuk mengcover biaya Rp 2 juta bagi setiap siswa per tahunnya. Artinya, ada selisih sekitar Rp 4 juta untuk setiap siswa per tahunnya buat anggaran BOPD.
“Ini yang kemudian diwujudkan melalui uang sumbangan segala macem dari pihak sekolah. Selisih angka ini, menunjukan kalau anggaran pendidikan di Jawa Barat belum mampu memenuhi keinginan sekolah gratis ini,” bebernya.
Oleh karena itu, kurangnya anggaran memunculkan praktek iuran dengan nama sumbangan sekolah yang dibebankan ke orang tua siswa. Kondisi ini menurut Heri Ukasah menjadi masalah lantaran hanya menambal sulam di tengah semboyan pemerintah dalam program sekolah gratis.
“Itu yang jadi sumber masalah. Maka dalam perjalanannya, sekolah akan melakukan upaya untuk menutupi kekurangan biaya operasional itu,” ungkapnya.
Atas polemik biaya pendidikan yang jadi beban orang tua, Heri Ukasah mendorong Pemprov Jabar untuk mengkaji ulang mengenai skema pembiayaan pendidikan sekolah berstatus negeri yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Selain itu, Heri Ukasah juga meminta pihak sekolah untuk lebih transparan dalam pengelolaan anggarannya, termasuk disampaikan kepada orang tua.
“Perlu dilakukan semacam pengkajian kembali terkait pembiayaan pendidikan. Kalau untuk sekolah apalagi yang negeri, mereka tentu harus transparan. Karena bagaimanapun juga pemasukannya semua dari negara,” katanya.
Terkait polemik komite sekolah, Heri Ukasah berpandangan bahwa masih ada komite yang belum paham dalam menjalankan regulasi sesuai Pergub Jabar No 44 Tahun 2022 tentang Komite Sekolah.
Ia mengatakan, komite sekolah seharusnya bertugas sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pendidikan. Mereka harus bisa menampung aspirasi dari para orang tua siswa yang berbentuk masukan hingga kritik untuk sekolah.
“Tapi yang saya ketahui di banyak sekolah, independensi komite ini malah dipertanyakan. Rata-rata komite hanya jadi stempel yang pada praktiknya menuruti kemauan dari sekolah tersebut,” ujarnya.
Komite layaknya lembaga DPRD yang menjalankan tugas pengawasan di pemerintah. Sehingga, komite harus bisa menampung aspirasi dari para orang tua siswa untuk ditindaklanjuti pihak sekolah.
“Kenyataannya, komite malah gagal paham dalam menjalankan fungsinya itu. Alih-alih diharapkan menjadi lembaga independen, komite malah seolah menjadi corong suara kebijakan dari sekolah,” pungkasnya. (muis)