ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Seperti yang kita tahu, bahwa pembangunan iptek merupakan sumber terbentuknya iklim inovasi, yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas sumberdaya manusia (SDM). Dimana pada gilirannya, dapat menjadi sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi.
Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi yaitu Tekno-Ekonomi, teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Implikasi paradigma ini adalah terjadinya proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya, menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan.
Ekonomi dengan basis pengetahuan, menurut Anggota Komisi 5 DPRD Jabar, Heri Ukasah, kekuatan bangsa diukur dari kemampuan iptek sebagai faktor primer ekonomi, menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.
Iptek juga menurut Heri Ukasah, menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi proses transformasi sumberdaya, menjadi sumberdaya baru yang lebih bernilai.
“Sehingga peningkatan kemampuan iptek, sangat diperlukan untuk meningkatkan standar kehidupan bangsa dan Negara. Juga tentu akan meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa Indonesia, di mata dunia,” ujar Heri Ukasah, kepada elJabar.com.
Untuk mengetahui lemahnya daya saing bangsa dan kemampuan iptek, bisa dilihat dari sejumlah indikator. Diantaranya, rendahnya kemampuan iptek nasional dalam menghadapi perkembangan global, menuju ekonomi berbasis pengetahuan. Dalam indeks daya saing pertumbuhan, teknologi merupakan salah satu parameter, selain parameter ekonomi makro dan institusi publik.
Kemudian rendahnya kemampuan iptek nasional juga, dapat dilihat dari jumlah paten penemuan baru dalam negeri yang terdaftar di Indonesia. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding paten dari luar negeri yang didaftarkan di Indonesia.
“Kontribusi iptek nasional di sektor produksi, masih rendah. Ini ditunjukkan oleh kurangnya efisiensi dan rendahnya produktivitas, serta minimnya kandungan teknologi dalam kegiatan ekspor,” jelasnya.
Masih lemahnya sinergi kebijakan iptek, menyebabkan kegiatan iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri dan iptek, belum terintegrasi.
Sehingga hal itu mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna, yaitu industri.
Terbatasnya sumber daya iptek, menurut Heri Ukasah yang juga merupakan Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jabar, tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek.
Lemahnya sumber daya iptek, diperparah dengan tidak adanya lembaga keuangan modal ventura dan start-up capital, yang diperlukan untuk sumber pembiayaan inovasi-inovasi baru.
“Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan, serta rendahnya insentif untuk peneliti,” ungkapnya.
Harus diakui, budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri.
Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai. Lebih suka membeli daripada membuat, serta lebih suka menggunakan teknologi yang ada daripada belajar dan berkreasi.
Disisi lain, kemajuan iptek berakibat pula pada munculnya permasalahan lingkungan. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh belum berkembangnya sistem manajemen dan teknologi pelestarian fungsi lingkungan hidup.
“Padahal sistem tersebut akan mendorong pengembangan dan pemanfaatan iptek yang bernilai ekonomis, ramah lingkungan dan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat,” pungkasnya. (muis)