Adikarya ParlemenParlemen

Perkebunan Jawa Barat Miliki Potensi Besar, DPRD Dorong Inovasi dan Regenerasi Petani

ADHIKARYA PARLEMEN

BANDUNG, elJabar.com — Perkebunan menjadi salah satu sektor unggulan dalam struktur ekonomi pertanian Jawa Barat. Namun, sektor ini masih menghadapi tantangan serius mulai dari alih fungsi lahan, rendahnya minat generasi muda terhadap pertanian, hingga ketergantungan pada sistem distribusi yang tidak berpihak pada petani.

Wakil Ketua Komisi 2 DPRD Jawa Barat, Lina Ruslinawati, menyatakan bahwa pemerintah provinsi perlu melakukan gebrakan konkret untuk menyelamatkan dan mengembangkan sektor perkebunan di Jabar.

Menurut Lina, potensi perkebunan di Jawa Barat sangat besar dan belum tergarap maksimal. Wilayah dengan kontur pegunungan dan iklim tropis menjadikan Jawa Barat sebagai lahan subur untuk berbagai komoditas perkebunan seperti teh, kopi, karet, kakao, dan kelapa sawit.

“Kita memiliki lahan perkebunan yang luas, petani yang ulet, dan komoditas unggulan yang sudah dikenal dunia seperti kopi Java Preanger dan teh Malabar. Namun, sayangnya kontribusi sektor ini terhadap perekonomian daerah belum optimal karena berbagai masalah struktural,” ujar Lina Ruslinawati, kepada elJabar.com.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, luas lahan perkebunan rakyat mencapai sekitar 455 ribu hektare, tersebar di berbagai kabupaten seperti Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, dan Bandung Barat. Dari total luas tersebut, sekitar 40% ditanami kopi dan teh, sementara sisanya untuk komoditas karet, kakao, kelapa, dan buah-buahan tropis.

Namun demikian, kontribusi sektor perkebunan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat masih kalah jauh dibandingkan sektor industri dan jasa. Hal ini menurut Lina disebabkan oleh rendahnya nilai tambah yang didapat petani serta kurangnya investasi di sektor hilir perkebunan.

“Kita masih menjual produk mentah. Daun teh, biji kopi, atau lateks dari karet dijual tanpa pengolahan lanjutan. Akibatnya nilai ekonominya rendah, dan petani tidak sejahtera,” ungkap politisi perempuan dari Fraksi Gerindra tersebut.

Salah satu persoalan krusial yang disorot Lina Ruslinawati adalah minimnya regenerasi petani di sektor perkebunan. Anak-anak muda di pedesaan cenderung enggan terjun ke sektor ini karena dianggap kurang menjanjikan, baik secara ekonomi maupun gaya hidup.

“Kita harus jujur, sektor pertanian dan perkebunan dianggap ketinggalan zaman oleh anak muda. Kalau tidak ada upaya modernisasi dan pemberdayaan generasi muda tani, masa depan sektor ini suram,” katanya.

Lebih lanjut, Lina juga menyoroti maraknya alih fungsi lahan perkebunan menjadi kawasan industri dan perumahan. Ia menilai fenomena ini sebagai ancaman serius terhadap ketahanan ekonomi desa dan keseimbangan lingkungan hidup.

“DPRD telah meminta pemerintah daerah untuk memperketat pengendalian tata ruang dan memberikan insentif bagi petani yang mempertahankan lahannya untuk komoditas perkebunan,” tambahnya.

Komisi 2 DPRD Jawa Barat yang membidangi perekonomian dan pertanian, menurut Lina, terus mendorong peningkatan anggaran bagi sektor perkebunan, terutama dalam bentuk penyuluhan, teknologi pertanian, dan dukungan alat pascapanen.

Salah satu program strategis yang didorong adalah pembentukan agribusiness center di setiap sentra komoditas perkebunan.

“Misalnya di Garut yang terkenal dengan kopinya, harus ada pusat hilirisasi kopi yang dilengkapi alat roasting, packaging, sampai sertifikasi halal dan ekspor. Jangan hanya petani besar saja yang bisa ekspor, petani kecil juga harus kita fasilitasi,” tegas Lina.

Selain itu, Lina juga mendesak pemerintah untuk mempercepat digitalisasi pertanian melalui sistem informasi harga, data petani by name by address, dan akses pembiayaan yang lebih fleksibel bagi petani muda.

Lina menyebut bahwa sektor perkebunan tidak bisa bergantung hanya pada pemerintah. Diperlukan kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan dunia usaha, perguruan tinggi, dan komunitas-komunitas petani muda.

Beberapa inisiatif yang menurutnya patut dicontoh adalah program adopsi lahan oleh startup pertanian di Kabupaten Bandung dan pelatihan digital marketing bagi petani teh muda di Cianjur.

“Kolaborasi seperti ini yang harus diperluas. Dunia swasta bisa masuk dengan sistem CSR atau kemitraan. Komunitas petani juga perlu diberdayakan agar mandiri dalam mengelola produksi hingga pemasaran,” papar Lina.

Dalam konteks global, sektor perkebunan juga tidak lepas dari dampak perubahan iklim. Lina menyebut bahwa banyak petani kopi dan teh di dataran tinggi mulai mengeluhkan anomali cuaca yang memengaruhi hasil panen dan siklus tanam.

Untuk itu, Komisi 2 DPRD Jawa Barat mendorong Dinas Perkebunan dan instansi terkait untuk menerapkan pendekatan pertanian ramah lingkungan, termasuk konservasi tanah, pemanfaatan varietas unggul tahan iklim, dan edukasi agroforestry kepada petani.

“Kita harus siapkan petani menghadapi era iklim ekstrem. Perkebunan berkelanjutan itu bukan pilihan, tapi keharusan jika kita ingin sektor ini tetap hidup 20–30 tahun ke depan,” jelasnya.

Dengan berbagai potensi yang ada, sektor perkebunan di Jawa Barat sebenarnya bisa menjadi pilar penting ketahanan ekonomi pedesaan dan ekspor daerah. Namun, tantangan klasik seperti lemahnya hilirisasi, rendahnya minat generasi muda, hingga dampak perubahan iklim menjadi batu sandungan yang harus segera dijawab.

“Dengan dukungan anggaran, kebijakan yang pro-petani, dan kolaborasi multisektor, perkebunan Jawa Barat bisa bangkit dan menjadi kekuatan ekonomi hijau yang berkelanjutan,” pungkasnya. (muis)

Show More
Back to top button