Permukiman di Jawa Barat Hadapi Tantangan Serius: Dorong Kebijakan Berbasis Kebutuhan Rakyat

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Persoalan permukiman di Provinsi Jawa Barat kian mendesak untuk diselesaikan secara komprehensif. Seiring pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi yang tinggi, kebutuhan akan hunian layak, terjangkau, dan berwawasan lingkungan menjadi isu sentral yang mendapat perhatian serius dari Komisi 4 DPRD Jawa Barat.
Anggota Komisi 4, Prasetyawati, menegaskan bahwa sektor permukiman tidak bisa dibiarkan berkembang secara alamiah tanpa intervensi perencanaan matang dari pemerintah.
“Kita sedang menghadapi tantangan besar dalam hal permukiman. Banyak kawasan permukiman tumbuh tanpa perencanaan tata ruang yang memadai, terutama di pinggiran kota besar seperti Bandung, Bekasi, Bogor, maupun Depok,” ujar Prasetyawati, kepada elJabar.com.
Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan angka urbanisasi tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 70% penduduk Jawa Barat saat ini tinggal di kawasan perkotaan. Perpindahan masyarakat dari desa ke kota yang terus meningkat setiap tahun menimbulkan tekanan besar pada infrastruktur permukiman, seperti air bersih, sanitasi, listrik, dan sistem drainase.
“Urbanisasi ini tidak bisa dihentikan, tetapi harus dikelola. Kalau tidak, yang terjadi adalah ledakan kawasan kumuh dan ketimpangan kualitas hunian antara kelompok menengah ke atas dan masyarakat berpenghasilan rendah,” lanjutnya.
Menurut Prasetyawati, saat ini tercatat lebih dari 1.300 hektare kawasan kumuh di wilayah Jawa Barat, tersebar di 27 kabupaten/kota. Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kota Bandung menjadi daerah dengan kawasan kumuh terbanyak. Kondisi ini diperburuk dengan maraknya permukiman informal yang dibangun di atas lahan tidak layak seperti bantaran sungai dan tanah negara.
Meskipun pemerintah pusat dan daerah telah meluncurkan sejumlah program seperti Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), Program Bedah Rumah, dan pembangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), Prasetyawati menilai implementasi program tersebut masih belum menyentuh akar persoalan.
“Banyak program yang sebenarnya bagus di atas kertas, tapi di lapangan justru tersendat oleh minimnya koordinasi antarlembaga, data yang tidak valid, dan pendekatan yang terlalu seragam,” ungkapnya.
Sebagai contoh, ia menyebutkan adanya kasus pembangunan Rusunawa di beberapa kabupaten yang akhirnya mangkrak karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat setempat.
“Jangan hanya sekadar membangun. Kita harus paham karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat calon penghuni,” tegasnya.
Prasetyawati mendorong agar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota lebih mengedepankan kebijakan yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Menurutnya, warga bukan hanya obyek pembangunan, tetapi harus dilibatkan sejak tahap perencanaan.
“Kita ingin masyarakat punya suara dalam menentukan jenis hunian seperti apa yang mereka butuhkan. Misalnya, apakah mereka lebih nyaman dengan rumah tapak, rumah susun, atau hunian berkelompok berbasis komunitas,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas sektor antara dinas perumahan, dinas lingkungan hidup, Bappeda, akademisi, dan sektor swasta. “Permukiman bukan urusan satu dinas saja. Ini urusan lintas sektor dan harus ditangani dengan pendekatan holistik,” kata dia.
Meski permukiman perkotaan kerap mendapat sorotan lebih, Prasetyawati mengingatkan agar pemerintah tidak melupakan kondisi permukiman di pedesaan. Ia menyebutkan bahwa masih banyak desa-desa di Jawa Barat yang belum memiliki akses air bersih, sanitasi layak, dan infrastruktur dasar lainnya.
“Saya mengunjungi beberapa desa di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya, dan saya prihatin melihat banyak rumah warga yang tidak memiliki MCK. Ini tahun 2025, tapi masih ada warga yang mandi di sungai dan buang air di kebun,” ungkapnya.
Prasetyawati mengapresiasi beberapa kabupaten yang sudah mengembangkan konsep Desa Mandiri Permukiman dengan melibatkan masyarakat dalam pembangunan rumah dan infrastruktur dasar, namun ia berharap program ini lebih diperluas dan didukung dengan anggaran yang memadai.
Salah satu isu pelik dalam sektor permukiman adalah terbatasnya lahan yang tersedia untuk pembangunan hunian rakyat. Prasetyawati mengkritik maraknya praktik spekulasi tanah yang dilakukan oleh pengembang besar maupun individu yang membeli lahan dalam jumlah besar hanya untuk dijual kembali dengan harga tinggi.
“Kita menghadapi krisis lahan karena lahan-lahan produktif dikuasai segelintir orang. Ini menyebabkan harga tanah melonjak dan tidak terjangkau oleh masyarakat kecil,” tegasnya.
Ia mendorong pemerintah provinsi untuk membuat kebijakan yang membatasi praktik spekulasi tanah dan memberikan insentif bagi pembangunan rumah rakyat. “Kalau perlu, kita buat bank tanah provinsi yang khusus menyediakan lahan untuk program perumahan rakyat,” usulnya.
Mengakhiri wawancara, Prasetyawati menegaskan bahwa urusan permukiman bukan semata persoalan teknis, tetapi menyangkut hak dasar warga negara untuk hidup layak. “Rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi fondasi kehidupan sosial, ekonomi, dan pendidikan keluarga. Maka kita tidak boleh main-main dalam menyusun kebijakan di sektor ini,” ujarnya.
Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan media, untuk turut mengawal pembangunan permukiman yang adil, inklusif, dan berkelanjutan di Jawa Barat.
“Kita ingin Jawa Barat bukan hanya tumbuh sebagai provinsi maju secara ekonomi, tapi juga menjadi tempat hidup yang manusiawi bagi semua warganya,” pungkasnya. (muis)