ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup di Jawa Barat memiliki 9 azas. Yakni manfaat dan lestari, keadilan, kebersamaan, transparan, partisipasi, dan akuntabel, keberlanjutan, berbasis kearifan local, keseimbangan, pemberdayaan masyarakat.
Dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 memang secara eksplisit mewajibkan daerah untuk mengembangkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjutnya, Pemprov Jabar mengembangkan mekanisme jasa lingkungan hidup sebagai bagian dari instrumen ekonomi lingkungan hidup.
Setidaknya menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, Ir. Prasetyawati, ada empat tujuan dilahirkannya Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup.
Pertama, mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berwawasan lingkungan melalui pemanfaatan potensi jasa lingkungan hidup secara berkelanjutan dengan tetap memperhatikan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.
Kedua, meningkatkan kepedulian para pihak terhadap upaya menjaga, memelihara, dan memanfaatkan jasa lingkungan hidup sebagai output kinerja ekologis sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dikelola secara berkelanjutan.
Ketiga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup secara seimbang dan berkelanjutan dengan mengembangkan kearifan lokal.
Kempat, memberikan kepastian hukum dalam ketersediaan pembayaran jasa lingkungan hidup untuk perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Apabila melihat keempat tujuan lahirnya Perda Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup, semestinya Jawa Barat sudah menjadi provinsi termaju.
“Seharusnya Jawa Barat tidak lagi memiliki kabupaten/kota yang sebagian masyarakatnya dikategorikan miskin ekstrem,” ujar Prasetyawati, kepada elJabar.com.
Semestinya masing-masing kabupaten/kota yang ada, diberi otoritas penuh untuk memanfaatkan secara positif setiap sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada di wilayahnya. Jangan sampai yang terjadi justru sebaliknya.
“Mereka memiliki wilayah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi tidak bisa mengoptimalkan karena terhalang regulasi,” katanya.
Regulasi boleh-boleh saja banyak dilahirkan. Akan tetapi, semestinya semua itu ditujukan hanya untuk dan demi kesejahteraan masyarakat semata. Jika benar terjadi, itu merupakan suatu paradoks. Bahkan ada yang sampai satu kabupaten yang wilayahnya subur tapi tak mampu memasak nasi.
“Ini benar-benar sangat paradoks. Kekayaan sumber daya yang ada, tidak bisa memberikan kesejahteraan. Rakyat tidak bisa menikmatinya,” ujarnya.
Tanggapan seperti itu juga pasti merupakan respons atas berbagai regulasi yang ada. Mereka merasa wilayahnya memiliki sumber daya alam yang kaya. Namun, berbagai regulasi yang ada “mengekang” mereka untuk memanfaatkannya. Hasilnya tentu saja sebuah paradoks.
Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, berarti kita memang “mendorong” masyarakat di wilayah itu untuk menjadi miskin. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang benar-benar komprehensif. Misalnya, daerah seperti itu mendapat kompempensasi yang tetap akan membuat masyarakatnya sejahtera.
Jangan sampai regulasi hanya untuk mengatur masyarakat tanpa memberi ruang pertumbuhan mereka ke arah yang lebih sejahtera.
“Maka dari itu, dibutuhkan goodwill dari semua level pemerintahan (pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota) agar setiap kebijakan yang dilahirkan benar-benar berpihak kepada masyarakat,” pungkasnya. (muis)