PERTEMUAN PRESIDEN DAN OPOSISI: SIMBOL HARAPAN, TANDA BAHAYA?*
Opini
Oleh Radhar Tribaskoro
(_Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia_)
Presiden Prabowo Subianto dikabarkan akan bertemu dengan sejumlah aktivis oposisi. Di tengah lanskap politik yang makin sunyi dari suara tandingan, kabar ini terdengar seperti oase di padang tandus: menyegarkan, memberi harapan, seolah-olah demokrasi masih punya denyut. Tapi seperti segala sesuatu yang datang dari pusat kekuasaan yang dominan, kita harus menyambutnya dengan dua mata: satu yang hangat, satu yang waspada.
Dalam demokrasi, oposisi bukan gangguan. Ia adalah bagian dari sistem respirasi politik. Jika pemerintah adalah pengambil keputusan, maka oposisi adalah mekanisme koreksi yang memastikan keputusan itu tidak lahir dari keangkuhan, melainkan dari deliberasi dan pertimbangan yang terbuka. Kehadiran oposisi membuat negara bisa belajar dari dirinya sendiri. Karena itu, pertemuan presiden dengan para pengkritiknya dapat dimaknai sebagai pengakuan akan kebutuhan dasar demokrasi: ruang bagi suara berbeda.
Namun di balik apresiasi, ada pertanyaan yang mengganggu: mengapa fungsi check and balance kini harus dijalankan oleh masyarakat sipil? Bukankah kita telah membangun sistem demokrasi presidensial dengan parlemen yang dipilih rakyat? Bukankah DPR seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif, bukan perpanjangan tangannya?
Pertanyaan ini mengantar kita kepada diagnosis yang lebih dalam: sistem demokrasi kita sedang mengalami bonsai — dikerdilkan bentuknya, dilemahkan akarnya, tapi tetap dibiarkan hidup agar tampak segar dari kejauhan. Lembaga-lembaga yang seharusnya mandiri kini beroperasi di bawah bayang-bayang kekuasaan. KPK dikunci. Mahkamah Konstitusi dibajak. DPR menjadi pabrik legislasi pesanan. Bahkan pemilu, yang seharusnya menjadi ajang sirkulasi kekuasaan yang sehat, justru dipenuhi manipulasi dan kooptasi.
Maka, pertemuan presiden dengan oposisi menjadi sebuah paradoks. Di satu sisi, ia bisa dipahami sebagai langkah positif, karena mengakui bahwa kritik adalah bagian penting dari pemerintahan. Tapi di sisi lain, ia juga menegaskan bahwa demokrasi kita telah menyimpang begitu jauh, hingga pertemuan semacam ini perlu diadakan — seolah-olah peran oposisi kini adalah hak yang perlu diizinkan, bukan kewajiban yang dijamin oleh sistem.
Kita pernah mengalami momen serupa dalam sejarah. Pada tahun 1980, Presiden Soeharto mengklaim bahwa telah tercapai konsensus nasional untuk memusatkan perhatian pada stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Atas nama stabilitas, kekuasaan dipertautkan, oposisi dibungkam, partai dijinakkan, dan demokrasi dipersempit menjadi prosedur administratif. Petisi 50 hadir sebagai suara yang menolak, menyatakan bahwa stabilitas yang dibangun di atas pembungkaman justru rapuh dan menipu. Mereka melawan narasi bahwa demokrasi adalah ancaman terhadap pembangunan.
Hari ini, narasi serupa muncul dalam bentuk yang lebih halus. Kita mendengar bahwa demokrasi harus disesuaikan dengan budaya, bahwa kita perlu sopan dalam berdebat, bahwa rakyat butuh harmoni, bukan oposisi. Tapi seperti masa lalu, narasi ini menjadi selimut yang menutupi fakta bahwa kekuasaan sedang dikonsolidasikan — bukan melalui senjata atau sensor, melainkan melalui kooptasi, kompromi palsu, dan kekeringan etika publik.
Yang paling patut diwaspadai dari pertemuan ini adalah jika ia menjadi bagian dari rebranding kekuasaan. Oposisi yang duduk bersama presiden, jika tidak berhati-hati, bisa dijadikan simbol legitimasi: lihat, pemerintah terbuka, lihat, kritik disambut. Padahal dalam praktiknya, saluran-saluran substantif untuk koreksi, protes, dan gugatan sistemik telah dibekukan. Tanpa kekuatan institusional, pertemuan seperti ini tak lebih dari upacara simbolik. Bahkan bisa menjadi perangkap: menjinakkan oposisi, mengisolasi yang menolak ikut duduk di meja yang disediakan oleh penguasa.
Karena itu, bagi para aktivis yang akan hadir, kehadiran Anda adalah pertaruhan. Jangan datang sebagai pihak yang meminta pengakuan. Datanglah sebagai suara dari rakyat yang kehilangan jalur protesnya, sebagai ingatan kolektif atas janji demokrasi yang belum ditepati, sebagai simbol bahwa oposisi tidak akan pernah mati — meski dibungkam, dikecilkan, atau diajak bersalaman.
Dan bagi kita yang menyaksikan dari luar, jangan buru-buru berharap. Pertemuan ini bisa menjadi awal pemulihan jika diikuti dengan kebijakan nyata: penguatan institusi, pelepasan tekanan terhadap media, kebebasan berekspresi yang dijamin, dan kembalinya sistem pengawasan yang independen. Tapi jika tidak, maka pertemuan ini hanya akan menjadi sebuah episode dalam narasi panjang tentang bagaimana demokrasi diubah menjadi pertunjukan — di mana oposisi menjadi figuran yang dipilih dengan cermat, diberi tempat duduk, lalu dilupakan.
Di titik ini, saya teringat pada kata-kata Hannah Arendt: “The most radical revolutionary will become a conservative the day after the revolution.” Dalam konteks kita, barangkali lebih tepat dikatakan: “Para reformis akan berubah menjadi penjinak demokrasi begitu mereka merasa cukup nyaman dengan kekuasaan.”
Demokrasi Indonesia kini berada di persimpangan. Ia bukan lagi soal memilih siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan itu dijaga agar tidak tumbuh tanpa batas., Pertemuan antara presiden dan para aktivis bisa menjadi momen penting — jika dijadikan panggung untuk menagih akuntabilitas, bukan sekadar menyampaikan kesan. Jika tidak, maka itu hanyalah bab lain dari cerita tentang bagaimana demokrasi secara sadar dikerdilkan menjadi alat legitimasi semu.
Tentang akuntabilitas itu, perlu dipersoalkan perihal dominasi presiden yang sangat kuat dalam satu dekade terakhir. Dominasi itu tidak mungkin terjadi tanpa izin, persetujuan, atau keikutsertaan para elite politik itu sendiri. Mereka berkomplot dalam diam — melalui revisi undang-undang, pengabaian fungsi pengawasan, kooptasi partai, dan normalisasi ketimpangan kekuasaan. Apa yang kita saksikan hari ini bukan sekadar deviasi spontan dari demokrasi, tapi kemungkinan besar adalah elite’s designed democracy — desain demokrasi yang dibengkokkan agar melayani stabilitas kekuasaan, bukan partisipasi rakyat. Dan di sinilah letak ironi terbesar: mereka yang pernah meneriakkan reformasi kini mengukir jejak yang nyaris sejajar dengan “konsensus nasional” versi Soeharto. Bedanya, kini semua itu dibungkus dalam prosedur elektoral dan retorika demokrasi yang dikosongkan maknanya.
Karena itu, menulis, berbicara, dan bersikap tetaplah penting. Bukan karena dampaknya selalu segera terasa, tapi karena dalam sistem yang semakin bisu, masih ada yang menolak diam ketika diam telah menjadi norma. ***