ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Pemilihan umum merupakan salah satu mekanisme dasar dalam sistem politik demokratis. Melihat prosesnya, pemilu menjadi salah satu kebudayaan/kebiasaan yang diwariskan. Saat rakyat memilih pemimpin mereka, mereka sebenarnya memilih masa depan mereka sendiri.
Namun, dalam praktiknya, banyak pemilihan umum yang masih diwarnai oleh praktik politik patronase yang merusak integritas demokrasi. Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk memperhatikan ideologi partai politik yang diusung oleh para calon pemimpin mereka.
Dalam banyak kasus, pemilihan umum menjadi ajang bagi politisi untuk memenangkan suara pemilih melalui praktik politik patronase. Misalnya, politisi memberikan bantuan finansial atau materi kepada pemilih untuk mendapatkan dukungan mereka.
Dalam kondisi ini, menurut Anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD Jawa Barat Heri Ukasah, rakyat seharusnya memiliki kesadaran untuk tidak terjebak dalam praktik politik patronase yang merusak demokrasi tersebut.
Dalam menentukan pilihan pada pemilihan umum, masyarakat harus mempertimbangkan ideologi partai politik yang diusung oleh para calon pemimpin. Ideologi partai politik menunjukkan visi dan misi partai dalam menjalankan pemerintahan dan memimpin masyarakat.
“Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami ideologi partai politik dan memilih pemimpin yang sejalan dengan nilai-nilai dan aspirasi mereka,” ujar Heri Ukasah, kepada elJabar.com.
Namun, tidak semua pemilih mempertimbangkan ideologi partai politik dalam menentukan pilihannya pada pemilihan umum. Terkadang, pemilih hanya memilih calon pemimpin berdasarkan popularitas atau janji-janji kampanye yang belum tentu bisa diwujudkan.
Pemilih harus memahami bahwa ideologi partai politik sangat penting dalam menentukan arah kebijakan publik yang akan diterapkan oleh pemerintah.
Pemilihan umum harus menjadi ajang yang adil dan jujur, bukan praktik politik patronase yang merusak demokrasi. Masyarakat harus memperhatikan ideologi partai politik yang diusung oleh para calon pemimpin dan memilih pemimpin yang sejalan dengan nilai-nilai dan aspirasi mereka.
“Dengan demikian, pemilihan umum akan menjadi mekanisme yang efektif dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi rakyat,” jelasnya.
Jika kondisi seperti itu terus diwariskan, maka pewarisan seperti itu akan “membudaya”. Para pemegang kekuasaan akan menentukan arah kebijakan seperti yang mereka inginkan. Rakyat kerap terbelenggu karena sudah telanjur “menerima sesuatu”. Padahal, dengan menerima sesuatu itu, mereka telah menggadaikan nasibnya lima tahun ke depan, temasuk masalah kebudayaan.
Kebudayaan, termasuk permainan tradisional, pasti diwariskan secara turun temurun. Hanya saja, ada kebudayaan yang dipelihara atau diteruskan dan ada pula yang tidak dipelihara oleh generasi selanjutnya. Oleh karena itu, ada sebagian kebudayaan yang terus bertahan, hampir punah, bahkan ada pula yang punah.
Pemilu pasti berpengaruh pada kondisi kebudayaan tersebut. Dengan demikian, seluruh masyarakat sangat harus selektif dalam memilih para calon pemimpin bangsanya ketika pemilu, entah itu calon anggota legislatif, kepala daerah maupun presiden.
Dengan kultur demokrasi yang ada, sangat sulit rasanya menganulir sebuah hasil pemilu. Hasil pemilu hanya bisa dianulir dengan pemilu berikutnya. Artinya, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama untuk itu. Kalau toh memungkinkan, ongkosnya terlalu mahal. Bahkan, bisa jadi akan berdarah-darah.
“Oleh karena itu, dibutuhkan kecerdasan berpikir ketika memutuskan pilihan. Memang untuk sampai pada pilihan cerdas tersebut dibutuhkan tingkat literasi yang memadai,” pungkasnya. (muis)