Pilkada dan Pewarisan Budaya
ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Pemilihan umum adalah salah satu mekanisme dasar dalam sistem politik demokratis. Melihat prosesnya, pemilu menjadi salah satu kebudayaan/kebiasaan yang diwariskan. Saat rakyat memilih pemimpin mereka, mereka sebenarnya memilih masa depan mereka sendiri.
Namun, dalam praktiknya, banyak pemilihan umum yang masih diwarnai oleh praktik politik patronase yang merusak integritas demokrasi. Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk memperhatikan ideologi partai politik yang diusung oleh para calon pemimpin mereka.
Februari yang lalu, masyarakat sudah ikut serta dalam pemilu legislative dan pemilihan presiden. Dan sekarang masyarakat Indonsia pada 27 Nopember mendatang akan menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak.
Dalam banyak kasus, pemilihan umum atau Pilkada menurut Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat, Daddy Rohanadi, menjadi ajang bagi politisi untuk memenangkan suara pemilih melalui praktik politik patronase. Misalnya, politisi memberikan bantuan finansial atau materi kepada pemilih untuk mendapatkan dukungan mereka.
“Dalam kondisi ini, rakyat seharusnya memiliki kesadaran untuk tidak terjebak dalam praktik politik patronase yang merusak demokrasi tersebut,” tandas Daddy Rohanadi, kepada elJabar.com.
Dalam menentukan pilihan pada Pilkada nanti, masyarakat harus mempertimbangkan ideologi partai politik yang mengusung para calon pemimpin di daerah. Ideologi partai politik menunjukkan visi dan misi partai dalam menjalankan pemerintahan dan memimpin masyarakat.
“Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami ideologi partai politik dan memilih pemimpin yang sejalan dengan nilai-nilai dan aspirasi mereka,” tegasnya.
Namun, tidak semua pemilih mempertimbangkan ideologi partai politik dan calon pemimpin yang diusungnya dalam menentukan pilihannya pada Pilkada. Terkadang, pemilih hanya memilih calon pemimpin berdasarkan popularitas atau janji-janji kampanye yang belum tentu bisa diwujudkan.
Pemilih harus memahami bahwa ideologi partai politik dan visi misi calon pemimpin sangat penting dalam menentukan arah kebijakan publik yang akan diterapkan oleh pemerintah daerah nanti.
Daddy menegaskan, bahwa Pilkada harus menjadi ajang yang adil dan jujur, bukan praktik politik patronase yang merusak demokrasi. Masyarakat harus memperhatikan ideologi partai politik dan visi misi para calon pemimpin, sehingga mampu memilih pemimpin yang sejalan dengan nilai-nilai dan aspirasi mereka.
“Dengan demikian, Pilkada akan menjadi mekanisme yang efektif dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi rakyat,” ujarnya.
Jika kondisi seperti itu terus diwariskan, maka pewarisan seperti itu akan “membudaya”. Para pemegang kekuasaan akan menentukan arah kebijakan seperti yang mereka inginkan. Rakyat kerap terbelenggu karena sudah telanjur “menerima sesuatu”. Padahal, dengan menerima sesuatu itu, mereka telah menggadaikan nasibnya lima tahun ke depan.
Dengan kultur demokrasi yang ada, sangat sulit rasanya menganulir sebuah hasil Pilkada. Hasil Pilkada hanya bisa dianulir dengan Pilkada berikutnya. Artinya, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama untuk itu.
Oleh karena itu, dibutuhkan kecerdasan berpikir ketika memutuskan pilihan di bilik suara di tempat pemungutan suara saat Pilkada. Memang untuk sampai pada pilihan cerdas tersebut dibutuhkan tingkat literasi yang memadai.
“Pilihan cerdas akan menentukan nasib kita lima tahun ke depan. Bahkan, bisa jadi nasib anak-cucu kita dipertaruhkan. Jadi, lihat dan cermati dengan seksama rekam jejak mereka yang akan jadi pilihan,” pungkasnya. (muis)