Adikarya ParlemenParlemen

Potensi dan Problem Pertambangan dan Energi di Jawa Barat

ADHIKARYA PARLEMEN

BANDUNG, elJabar.com — Jawa Barat selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam cukup melimpah, terutama di sektor pertambangan dan energi. Potensi tersebut tersebar di berbagai wilayah, mulai dari tambang batu bara di daerah selatan, potensi panas bumi di kawasan pegunungan, hingga cadangan batu andesit dan pasir yang dimanfaatkan untuk kebutuhan konstruksi.

Namun di balik kekayaan itu, menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, Daddy Rohanadi, ada banyak persoalan yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.

Potensi sektor pertambangan dan energi di Jawa Barat menurut Daddy, sebenarnya bisa menjadi tulang punggung ekonomi lokal jika dikelola dengan baik. Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa eksploitasi yang tidak terkontrol justru berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial.

“Jawa Barat ini bukan hanya kaya akan sumber daya alam, tapi juga kompleks masalahnya. Banyak potensi yang belum tergarap optimal, dan yang sudah tergarap justru menimbulkan dampak negatif karena lemahnya pengawasan,” ujar Daddy Rohanadi, kepada elJabar.com.

Menurut Daddy, Jawa Barat memiliki beberapa potensi energi baru dan terbarukan yang sangat menjanjikan. Salah satunya adalah panas bumi atau geotermal. Kawasan seperti Gunung Papandayan, Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Salak memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sumber energi ramah lingkungan.

“Energi panas bumi bisa jadi solusi jangka panjang untuk ketahanan energi Jawa Barat. Tapi butuh komitmen politik dan investasi yang serius untuk mewujudkannya,” ujarnya.

Selain itu, sektor energi surya dan mikrohidro juga mulai dilirik sebagai alternatif energi yang berkelanjutan. Namun, investasi pada sektor ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan sektor energi fosil.

Di sektor pertambangan, batu andesit dan pasir yang banyak ditambang di daerah Purwakarta, Subang, dan Bogor digunakan secara masif untuk pembangunan infrastruktur, terutama untuk proyek nasional seperti Jalan Tol Cisumdawu dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Namun demikian, potensi besar itu dibayangi oleh berbagai persoalan serius. Daddy menyoroti lemahnya regulasi dan pengawasan sebagai akar dari berbagai problem yang muncul. Salah satu dampak yang paling mencolok adalah kerusakan lingkungan akibat pertambangan liar dan tidak ramah lingkungan.

“Banyak tambang yang tidak punya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan itu bisa menyebabkan longsor, banjir, hingga krisis air bersih,” tegas Daddy.

Tak hanya lingkungan, dampak sosial pun tak kalah besar. Banyak warga sekitar tambang merasa tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang seimbang dengan kerusakan yang ditimbulkan. Bahkan, di beberapa daerah terjadi konflik antara warga dengan perusahaan tambang.

Daddy juga menyoroti adanya tumpang tindih perizinan antara pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, serta lemahnya koordinasi antar instansi.

“Perlu ada sistem tata kelola yang transparan dan partisipatif. Warga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bukan hanya jadi korban,” tambahnya.

Sebagai solusi, Daddy mendorong adanya reformasi dalam tata kelola pertambangan dan energi di Jawa Barat. Ia menyarankan agar pemerintah provinsi memperkuat regulasi, meningkatkan transparansi perizinan, serta menggandeng akademisi dan masyarakat sipil dalam pengawasan.

Ia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat terkait potensi energi baru terbarukan dan manfaatnya untuk keberlangsungan lingkungan.

“Kita tidak anti terhadap pembangunan. Tapi pembangunan harus adil dan berkelanjutan. Jangan sampai generasi mendatang mewarisi kerusakan karena keserakahan kita hari ini,” pungkasnya.

Dengan potensi yang besar dan tantangan yang kompleks, masa depan sektor pertambangan dan energi di Jawa Barat akan sangat bergantung pada keberanian pemerintah dan masyarakat dalam mengambil langkah-langkah strategis yang berkeadilan. (muis)

Show More
Back to top button