Adikarya ParlemenParlemen

Potensi Sektor Pertambangan Umum dan Dilema Kelestarian Alam di Jawa Barat

ADHIKARYA PARLEMEN

BANDUNG, elJabar.com — Jawa Barat menyimpan potensi pertambangan umum yang tak sedikit, mulai dari batuan andesit, pasir dan sirtu, batu kapur untuk industri semen, hingga mineral logam dalam skala terbatas.

Namun di balik peluang ekonomi, provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia ini juga memikul beban keseimbangan: bagaimana memastikan eksploitasi sumber daya tidak merusak lingkungan hidup dan mengganggu ruang hidup warga.

Sehingga atas dilemma tersebut, Anggota Komisi 3 DPRD Jabar, Hj. Tina Wiryawati, mendorong agar adanya tata kelola yang adil, tegas, dan berkelanjutan.

“Potensi ada, peluang kerja ada, namun mandat konstitusi kita jelas: kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat sekaligus menjaga kelestarian. Itu berarti tata kelola harus tegas, transparan, dan berorientasi jangka panjang, bukan sekadar izin dan produksi,” ujar Tina Wiryawati, kepada elJabar.com.

Di sektor pertambangan umum (non-migas), Jabar dikenal sebagai lumbung bahan galian untuk konstruksi dan industri: andesit untuk pondasi dan agregat, batu kapur dan tanah liat untuk semen, juga pasir dan sirtu untuk pembangunan infrastruktur. Kebutuhan dalam provinsi sendiri besar—mulai dari proyek jalan, perumahan, hingga manufaktur—sehingga rantai pasok mineral non-logam relatif terjamin.

“Kapasitas industri bahan bangunan dan permintaan infrastruktur di Jabar membuat hilirisasi sederhana—seperti pemecahan batu, pengayakan, dan blending—langsung terasa manfaatnya ke ekonomi lokal,” kata Tina.

Selain memenuhi kebutuhan daerah, kedekatan Jabar dengan pasar besar Jabodetabek dan pelabuhan utama menjadi keunggulan logistik.

“Jangan lupa, keunggulan geografis itu modal. Tapi modal itu bisa hilang kalau kita abai pada tata ruang dan daya dukung lingkungan,” ujarnya.

Di sisi lain, terdapat kawasan yang sangat peka, seperti bentang alam karst, daerah resapan air pegunungan, serta lereng curam yang rentan longsor. Aktivitas penambangan di wilayah-wilayah ini kerap memicu problem klasik: turunnya kualitas air, debu, getaran, serta konflik ruang dengan permukiman atau lahan pertanian.

“Untuk kawasan karst, kami mendorong penegakan batas yang jelas sesuai rencana tata ruang dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Karst bukan cuma batu, itu laboratorium air alami. Jika rusak, biaya sosialnya dibayar warga bertahun-tahun,” tegas Tina.

Pemerintah daerah perlu memperbarui peta fungsi lindung dan budidaya secara berkala, memadukan citra satelit, survei hidrogeologi, dan verifikasi lapangan.

Tina menilai audit lingkungan menyeluruh harus menjadi prasyarat pembaruan izin, terutama bagi operasi yang dekat dengan permukiman dan fasilitas publik.

“Audit mesti punya gigi, Jika temuan pelanggaran serius, ada sanksi administratif tegas, pemulihan wajib, bahkan pencabutan izin. Kepastian hukum bukan hanya untuk investor, tapi juga untuk warga dan lingkungan,” katanya.

Selain kewajiban reklamasi dan pascatambang, pelaku usaha perlu menyusun peta dampak sosial—termasuk lalu lintas truk, kebisingan, dan potensi gangguan mata pencaharian—serta rencana pengelolaannya.

“Jangan hanya bangun pagar. Bangun juga dialog. Keterlibatan warga sejak awal—dari uji kelayakan sampai pemantauan—akan menghasilkan solusi yang lebih legitimit dan mengurangi gesekan,” katanya.

Mekanisme pembagian manfaat juga perlu disederhanakan agar cepat dirasakan. Kalau menunggu jalur birokrasi panjang, trust masyarakat terkikis.

“Kami mendorong skema yang terukur: indikator kesejahteraan naik, akses air bersih membaik, jalan desa tak rusak karena truk tambang,” ujar Tina.

Untuk menghindari kerusakan yang tak bisa dipulihkan, Tina membuka opsi kebijakan moratorium tematik di kawasan tertentu. Misalnya, moratorium izin baru pada karst aktif atau sempadan mata air sampai peta hidrologi mutakhir siap. Bukan anti-tambang, tapi pro-akurasi dan kehati-hatian.

Ia juga menyinggung pentingnya zonasi dan penetapan koridor angkutan tambang yang jelas, guna mengurangi beban jalan umum dan keselamatan lalu lintas.

“Banyak konflik muncul bukan di pit, tapi di jalan. Penataan rute dan jam operasional itu kunci,” tambahnya.

Selain itu, Tina menekankan bahwa reklamasi dan pascatambang tidak boleh diperlakukan sebagai beban administrasi. Ini peluang menciptakan lanskap produktif baru—agroforestri, geowisata, taman kota batuan, atau area konservasi.

“Yang penting, desainnya berbasis sains dan disepakati sejak awal, bukan tempelan di akhir,” katanya.

Ia mendorong adanya bank bibit lokal, kolaborasi dengan komunitas pecinta alam, dan monitoring vegetasi pascatambang berbasis citra satelit dan inspeksi warga.

“Kalau hasilnya bagus, tunjukkan ke publik. Reputasi baik itu aset usaha dan daerah,” katanya.

Dalam kacamata investasi, kepastian aturan dan integritas pengawasan justru menjadi daya tarik. Pelaku usaha yang bonafide butuh kepastian: aturan jelas, proses cepat, pengawasan fair. Dengan begitu, biaya kepatuhan bisa diprediksi dan kompetisi sehat tercipta.

“Yang harus dipersempit ruangnya adalah free rider yang merusak lingkungan dan merusak pasar,” pungkasnya. (muis)

Show More
Back to top button