ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Carut marut praktek penerimaan peserta didik baru sebaiknya dijadikan cermin untuk memperbaiki sistem layanan penerimaan siswa baru dan layanan proses pendidikan di Jawa Barat kedepannya. Problem jelang penerimaan peserta didik baru, memang selalu menyisakan cerita yang tidak enak bagi dunia pendidikan.
Catatan tahun ajaran baru 2023 sangat penting diingat, karena proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) memunculkan sejumlah persoalan, yang mengakibatkan dibatalkannya kelulusan 4.791 calon siswa SLTA di Jawa Barat, karena dianggap memalsukan data.
Menurut Anggota Komisi 5 DPRD Jawa Barat, Heri Ukasah, ini sebuah persoalan yang tidak dianggap ringan. Karena menyangkut nasib ribuan calon siswa SLTA, dilain sisi dugaan dengan masalah pemalsuan atau rekayasa data. Dimana salah satu sistem penerimaan siswa baru dalam tujuh tahun terakhir ini menggunakan sistem zonasi.
Nasib calon siswa SLTA yang dicoret dari kelulusannya ini, apakah akan difasilitasi masuk sekolah negeri sesuai domisili yang sah, putus sekolah atau masuk ke sekolah swasta. Menurut Heri, ini butuh penjelasan pihak dinas terkait.
“Ini problem serius yang harus dicari jalan keluarnya. Sistem zonasi ini sudah berjalan sekitar tujuh tahun, seharusnya tentang sistem zonasi ini sudah clear. Namun memang pada prakteknya tidak sesederhana itu, karena ada faktor lain juga,” ujar Heri Ukasah, kepada elJabar.ccom.
Terkait faktor lain, sehingga adanya dugaan memanipulasi data tempat tinggal, menurut Heri Ukasah, ini tidak lepas dari masih adanya sebutan sekolah favorit dan sekolah non-favorit. Sehingga para orangtua, tentunya memilih sekolahh yang dianggap unggulan.
Disisi lain, ini juga kemungkinan menunjukan sebuah fakta, bahwa jumlah SMAN dan SMKN tidak sebanding dengan jumlah anak usia sekolah.
“Jadi selain persoalan belum meratanya kualitas mutu pendidikan, juga kemungkinan terkait belum meratanya jumlah dan kualitas infrastruktur sekolah itu sendiri. Sehingga para orang tua mencari sekolah yang dinilai lebih unggul. Faktanya, memang kedua mutu antara satu sekolah negeri, dengan sekolah negeri lainnya tidak setara, tidak merata,” ungkapnya.
Memang idealnya sekolah negeri yang dibiayai negara ini, kualitas sekolah negeri secara umum harus sama merata. Persoalan ada yang memiliki keunggulan di bidang tertentu, itu hal yang biasa, hasil inovasi dan keseriusan guru dan pembinanya.
“Tetapi secara umum, kualitas pendidikan di sekolah negeri harus sama. tidak boleh ada ketimpangan kualitas di sekolah negeri. Semuanya sama, karena SDM dan operasionalnya didanai negara. Sehingga tidak ada lagi penyerobotan masalah zonasi,” jelasnya.
Kejadian ini harus dijadikan pelajaran bagi pemerintah dalam meredam gejolak yang muncul ditengah masyarakat. Harus jadi bahan evaluasi, sehingga bukan hanya menetralisir kecurangan saja, tapi juga terkait problem yang mendasar.
“Yakni, adanya pemerataan kualitas mutu pendidikan dan kualitas sarana pendidikan, serta jumlah ketersediaan sekolah yang bisa dijangkau. Sehingga tidak ada lagi kecurangan dengfan cara menyerobot diluar zonasi yang sudah ditetapkan,” pungkasnya. (muis)