SAAT GEN-Z MENGIBARKAN BENDERA PUTIH (ATAU HITAM?)
INDONESIA, negeri yang katanya kaya raya, ramah tamah, dan demokratis. Negeri yang dibangun di atas mimpi para pendiri bangsa. Sayangnya, mimpi itu kini berubah jadi mimpi buruk kolektif. Gen Z, generasi yang katanya “pemilik masa depan”, mulai sadar bahwa masa depan itu ternyata sudah dibeli tunai oleh oligarki. Disewa jangka panjang oleh para penguasa serakah. Dan ketika mereka coba protes, yang mereka dapat justru cemoohan, tudingan, bahkan ancaman.
Di tengah keputusasaan itu, dua slogan lahir dari rahim frustrasi: #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu.
Ketika Nyala Harapan Sudah Dipadamkan
Bukan, ini bukan soal pemadaman bergilir PLN. Ini jauh lebih dalam. #IndonesiaGelap adalah akumulasi rasa muak terhadap sistem politik yang korup, hipokrit, dan penuh sandiwara murahan. Korupsi tak lagi sekadar penyakit, tapi sudah jadi ekosistem. Bahkan jadi kurikulum tidak resmi di sekolah kekuasaan.
Bayangkan, sepuluh tahun lalu negara hampir ambruk hanya karena bail out Rp6,7 triliun. Kini, angka korupsi berlari di kisaran ratusan hingga ribuan triliun. Negara tetap berdiri, tapi rakyatnya yang makin terbenam. Dulu, skandal berjuta-juta saja sudah bikin satu kabinet goyang. Sekarang? Triliunan raib dan reaksinya? “Biasa aja, Bro. Toh rakyat lupa juga nanti.”
Gen Z menatap semua itu tanpa filter. Mereka tidak punya beban romantisme orde lama, tidak punya trauma reformasi. Yang mereka punya adalah akal sehat dan data—dan semua data itu menunjukkan hal yang sama: Indonesia tenggelam dalam kegelapan. Mereka menyusun 13 tuntutan. Bukan untuk gagah-gagahan, bukan karena mereka naif. Justru karena mereka sadar, kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan mereka, siapa lagi? Tapi respons dari para elit? Diam, nyinyir, atau lebih parah: pura-pura tidak dengar.
Ketika Bertahan Bukan Lagi Pilihan
Kalau #IndonesiaGelap adalah teriakan terakhir, maka #KaburAjaDulu adalah keputusan dingin setelah semua teriakan itu dipadamkan. Ini bukan lagi tentang idealisme. Ini tentang logika bertahan hidup.
Generasi ini sudah mencoba. Mereka turun ke jalan, mereka bersuara di media sosial, mereka bikin gerakan, petisi, bahkan platform edukasi politik. Apa hasilnya? Mereka dilabeli “anak kemarin sore”, “nggak ngerti sejarah”, “kurang baca”. Sementara itu, para politisi yang “sudah kenyang pengalaman” malah sibuk kenyang uang.
Akhirnya Gen Z mengambil jalan paling waras: pergi. #KaburAjaDulu bukan tentang lari dari tanggung jawab. Ini tentang menjaga kewarasan. Kalau kapal sudah bocor, semua awak korup, dan nahkoda mabuk kekuasaan, kadang pilihan terbaik adalah melompat ke laut, berenang sejauh mungkin, sebelum ikut tenggelam.
Mereka bilang, “Kalau Indonesia sudah rata tanah, kami akan balik. Akan kami bangun lagi dari nol.” Kalimat yang terdengar ekstrem? Iya. Tapi lihat sekeliling: apa yang tersisa dari sistem yang katanya demokrasi ini? Hak rakyat? Dikunci. Hukum? Diperjualbelikan. Pemilu? Dipermainkan. Kalau bukan tanah rata yang mereka temukan saat kembali, mungkin cuma puing-puing sisa pembusukan yang sudah terlalu lama dibiarkan.
Luhut Adalah Kegelapan Itu Sendiri
Di tengah semua itu, muncul suara lantang dari Luhut Binsar. Dengan empati selembut batu, beliau menyergah, “Kau itu yang gelap.” Pernyataan yang mengiris logika. Yang gelap bukan mereka yang menunjuk kerusakan, tapi mereka yang membiarkan kegelapan itu jadi norma. Kalau pemimpin saja alergi kritik, jangan heran kalau rakyatnya alergi harapan.
Ketika kritik dianggap pengkhianatan, ketika suara berbeda langsung dibungkam, maka sesungguhnya Indonesia sudah gelap. Bukan cuma lampu yang padam, tapi hati nurani. Mereka yang bicara #IndonesiaGelap bukan karena buta, tapi karena sudah terlalu jelas apa yang salah. Dan mereka yang teriak #KaburAjaDulu, bukan karena pengecut, tapi karena sudah tak ada ruang untuk perbaikan di sini.
Gen Z Bukan Pindah Negara, Mereka Pindah Akal Sehat
Gen Z pergi bukan sekadar pindah paspor. Mereka pindah akal sehat. Mereka tidak mau lagi cawe-cawe di negara yang isinya tipu-tipu. Mereka mau mengamankan masa depan mereka, sebelum masa depan itu dirampok habis-habisan.
Jangan tanya kapan mereka kembali. Jawabannya sederhana: kalau Indonesia sudah rata tanah. Kalau sistem sudah dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Kalau koruptor sudah jadi fosil sejarah, bukan headline harian.
Dan kalau kamu masih berpikir mereka berlebihan, coba tanya diri sendiri:
Apa yang berubah setelah reformasi?
Apa yang benar-benar membaik setelah ganti presiden berkali-kali?
Kenapa yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin disuruh bersyukur?
Jawaban paling jujur mungkin memang: #IndonesiaGelap. Kabur aja dulu.
Karena buat apa tinggal di rumah yang sebentar lagi ambruk?
Penulis adalah Radhar Tribaskoro dari Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia