Sejumlah Problem Dalam Pemenuhan Perumahan Rakyat

ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Pada masa mendatang jumlah di Provinsi Jawa Barat ini akan semakin tinggi, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan Kepala Keluarga, akibat terbentuknya keluarga-keluarga baru.
Perlu kebijakan holistik dan komprehensif untuk mengurangi ketiadaan ketersediaan rumah atas jumlah kebutuhan rumah yang cenderung semakin tinggi. Kebijakan ini, terutama untuk pemenuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Sedangkan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang, adalah kebutuhan terhadap papan. Papan dalam hal ini adalah kebutuhan akan rumah tempat tinggal yang layak, baik dari segi fisik, fasilitas maupun lingkungannya.
Jumlah masyarakat yang membutuhkan rumah menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jabar, H. Kasan Basari, lebih banyak dari pasokan rumah yang bisa disediakan tiap tahun.
“Sehingga untuk mengatasi persoalan backlog perumahan ini, diperlukan sejumlah terobosan,” ujar Kasan Basari, kepada elJabar.com.
Pelaksanaan Program Satu Juta Rumah terdiri atas pembangunan rumah susun sewa (rusunawa), rumah khusus, dan rumah swadaya dengan dana yang bersumber dari APBN dan APBD.
Kemudian untuk rumah umum oleh pengembang, yang difasilitasi atau disubsidi lewat APBN melalui skema KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan subsidi selisih bunga, dan bantuan uang muka, serta rumah yang dibangun pengembang tanpa subsidi.
“Untuk capaian pembangunan rumah dalam program ini, tiap tahun didominasi oleh pembangunan rumah masyarakat berpenghasilan rendah,” ungkapnya.
Realisasi pembangunan perumahan yang di bawah target, tak lepas dari sejumlah tantangan yang dihadapi. Untuk menambah pasokan rumah layak huni terutama yang terjangkau oleh MBR, tantangannya adalah tingkat keterjangkauan MBR masih rendah.
Problem tingkat keterjangkauan tersebut, baik dalam membeli rumah dari pengembang, membangun secara swadaya, maupun meningkatkan kualitas rumah yang tidak layak huni.
Minimnya anggaran yang dimiliki oleh pemerintah dalam APBN/APBD untuk mengatasi permasalahan backlog perumahan, sebenarnya itu bisa disiasati dengan meminta bantuan atau kerjasama dengan sejumlah pihak swasta.
“Pemerintah dalam hal ini, bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta, untuk berpartisipasi menyiapkan hunian layak huni. Khususnya bagi para MBR,” sarannya.
Sementara itu dari sisi aksesibilitas, tantangannya adalah akses MBR ke sumber pembiayaan perumahan atau lembaga keuangan.
Untuk mendapat kredit pemilikan rumah (KPR) masih terbatas. Selain itu, sumber dana pembiayaan perumahan masih bersifat jangka pendek, sehingga tidak dapat meng-cover untuk KPR yang bersifat jangka panjang.
Tantangan lainnya yang cukup berat juga, adalah persoalan terbatasnya lahan murah bagi MBR, khususnya di wilayah perkotaan.
“Saat ini sangat sulit mendapatkan lahan di perkotaan untuk perumahan. Kalaupun ada, pasti harganya selangit dan sulit dijangkau oleh pengembang. Masalah ini membuat hampir semua pengembang enggan membangun hunian murah,” pungkasnya. (muis)







