ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, antara lain : a) Peraturan yang belum lengkap; b) Ketidaksesuaian peraturan; c) Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia; d) Data yang kurang akurat dan kurang lengkap; e) Data tanah yang keliru; f) Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah; g) Transaksi tanah yang keliru; h) Ulah pemohon hak, atau h) Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.
Pada waktu dulu di daerah-daerah yang belum berkembang, penyelesaian sengketa tanah umumnya dilakukan oleh tokoh-tokoh komunitas yang disegani warga setempat, yaitu kepala adat, kepala suku, kepala kampung atau kepala marga.
Selain itu, peran tokoh komunitas juga membantu untuk menentukan peruntukan serta pengawasan terhadap penggunaan tanah oleh warga setempat. Ini disebabkan karena kepala/ketua adat setempat umumnya memiliki data tanah yang ada di wilayahnya masing-masing. Baik yang menyangkut jumlah, batas maupun penggunaan tanah oleh warga setempat.
Pengetahuan tokoh komunitas tentang sejarah penguasaan tanah yang didukung oleh kepercayaan dan solidaritas yang tinggi dari para warganya inilah yang membuat keputusan kepala/ketua adat dalam menyelesaikan sengketa tanah, dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa.
“Walaupun data tanah tersebut jarang yang tertulis, namun kepala/ketua adat yang bersangkutan mengetahui riwayat kepemilikan tanah yang ada di wilayahnya,” ungkap Anggota Komisi 1 DPRD Jabar Mirza Agam, kepada elJabar.com.
Sedangkan saat ini, dengan berkurang atau bahkan hilangnya keberadaan kepala/ketua adat membuat banyak sengketa tanah yang tidak terselesaikan.
Karena tanah erat kaitannya dengan pembangunan yang merupakan salah satu faktor penunjang perekonomian di Indonesia, maka sengketa-sengketa tanah yang timbul harus dicarikan solusinya, sehingga sengketa tersebut tidak mengganggu laju pertumbuhan perekonomian yang sedang atau akan dilaksanakan.
“Keterbatasan perangkat adat yang dapat menyelesaikan sengketa tanah, mau tidak mau harus ditutupi dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yang daya lakunya dapat bersifat regional maupun nasional,” jelasnya.
Dalam praktiknya saat ini, penyelesaian sengketa tanah tidak hanya dilakukan melalui Pengadilan Negeri (PN), namun juga melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bahkan tidak jarang penyelesaian sengketa tanah merambah ke wilayah hukum pidana, karena dalam sengketa tersebut terkandung unsur-unsur pidana.
“Maka tidak bisa dipungkiri, dengan meningkatnya kebutuhan manusia terhadap tanah, membawa dampak meningkatnya jumlah sengketa tanah yang terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan, peruntukan serta penyelesaian sengketa tanah tidak murni merupakan hukum privat, namun juga termasuk dalam wilayah hukum publik.
Hanya saja perlu ditelaah berapa persen muatan materi pengaturan tanah di dalam kedua stelsel hukum tersebut.
Selain masalah sengketa antar masyarakat yang disebabkan oleh asal usul tanah waris, juga tidak kalah penting yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah masalah sengketa hak penggarapan di lahan milik negara.
“Tidak sedikit kasus ini terjadi di sejumlah daerah. Bukan hanya hilangnya hak garap saja, tapi ada yang sampai hilang nyawa. Ini sangat tragis,” sesalnya.
Menyikapi fakta-fakta yang muncul seputar pertanahan, pemerintah melalui intansi terkait harus sudah mulai membenahi diri dalam mengatur soal pertanahan. Sehingga tidak ada lagi sengketa yang merugikan sejumlah pihak, yang seharusnya memperoleh hakitu secara adil.
“Jangan sampai ada oknum-oknum yang bermain lagi dalam masalah pertanahan. Hak rakyat yang sedang menggarap tanah negara, jangan sampai terusir hanya karena kepentingan koporasi yang bermodal besar,” pungkasnya. (muis)